Belajar Editing Film Mulai Dari Sini, Bukan Dari Aplikasi Software

Banyak pemula yang baru mau belajar editing film atau video, apakah untuk membuat film pendek, video Instagram, video music, atau apa saja, mereka belajarnya dari cara menggunkan software editing. Program editing baik untuk laptop atau PC, juga aplikasi editing untuk smartphone. Tetapi yang sering dilupakan adalah belajar elemen paling dasar dari editing. Yaitu tentang metode editing yang ingin digunakan saat berkisah melalui bahasa audio visual.

Banyak filmmaker dan videografer pemula yang hanya mementingkan gambar-gambar indah (beauty shot) tetapi tidak mengerti harus bertutur seperti apa. Mereka sibuk dengan pakai kamera apa? Pakai tripod apa? Dimana nyari slider? Dan wabil khusus untuk editor biasanya disibukkan dengan pakai software apa yang canggih? Visual effect-nya gimana? Color gradingnya kayak gimana? Transisi yang lagi hits apa? Dan kesibukan-kesibukan lainnya yang justru sebenarnya hanya pemanis saja. Tetapi hal-hal yang mendasar malah diabaikan.

Jika diibaratkan dengan menulis, para videographer ini hanya mementingkan tulisan indah. Menggunakan pensil, atau bollpoint apa? Kertasnya juga dipilih yang paling bagus. Tetapi tentang bobot tulisannya sendiri tidak diindahkan. Tulisan indah memang bagus secara bentuk. Tapi kalau isinya hanya tentang “ini ibu Budi, ini bapak Budi,” ya tidak memiliki makna apa-apa. hanya sekedar bagus dipermukaan saja.

Lantas bagaimana seorang editor memainkan perannya?

Yang pertama dilakukan oleh seorang editor saat hendak melakukan kerja kreatif dalam seni editing adalah memikirkan struktur film atau video. Struktur ini terbagi  dalam 2 kelompok besar, yaitu:

  1. Struktur Linear
  2. Struktur Non Linear

Struktur Linear adalah pola berkisah yang berurutan dari awal hingga akhir. Seperti kehidupan manusia, kita menjalaninya secara linear. Mulai dari kelahiran hingga kematian. Memulai dari pagi hingga malam hari. Kisah linear yang sederhana bisa kita ibaratkan juga seperti perjalanan dari Manggarai ke Blok M. Lurus-lurus saja, berangkat jam 1 siang, tiba jam 2 siang. Tanpa interupsi dengan aksi lain, tanpa balik lagi ngambil dompet.

Bisa juga diandaikan dengan huruf abjad. Dari A, B, C, D, sampai Z.

Contoh film dengan struktur linear ini bisa ditemukan di banyak film anak-anak. Mengapa? Agar anak-anak lebih mudah mengerti alur ceritanya. Meski di film-film remaja dan dewasa pun ada yang menggunakan struktur linear.

Struktur Non Linear adalah pola berkisah yang tidak urut dari segi urutan waktunya. Pola bertutur acak yang memanipulasi urutan waktu kejadian. Meloncat-loncat dari satu kisah ke kisah lainnya. Banyak menggunakan kilas balik (flasback) dan kilas maju (flashforward). Urutannya tidak A, B, C, D, sampai Z. tetapi bisa dimulai dari Z, F, H, L, A, B, C, dan seterusnya.

Ada 3 komponen dasar yang terdapat dari struktur non linear ini:

  1. Kilas Balik (Flashback) / Kilas Maju (Flashforward)
  2. Elipse
  3. Multi Plot

Kilas balik atau flasback ini adalah penggambaran tentang masa lalu si tokoh. Sedangkan kilas maju biasanya tentang apa yang akan terjadi di masa datang. Film yang berkisah dengan gaya seperti ini bisa disebut non linear jika sebagian besar plotnya terdiri dari flashback dan flashforward. Jika si tokoh hanya terkenang sejenak dengan masa lalunya, maka polanya tetap linear, namun hanya ada sedikit flashback.

Elipse adalah pola bertutur melingkar. Ceritanya tidak maju-maju. Baru maju sebentar, eh mundur lagi. Contoh struktur seperti ini bisa dilihat dalam film “Hero” karya sutradara Zhang Yimou yang dibintangi oleh Jet Lee. Saat Jet Lee yang berperan sebagai Pendekar Tanpa Nama (Nameless) itu hendak mendekati Raja Qin, selalu ada kisah yang berbeda dari setiap senjata dari pendekar lain yang telah dibunuhnya. Pola ini juga bisa dilihat di film yang lebih jadul lagi yaitu film Rashomon karya Akira Kurosawa (1950). Film ini menceritakan tentang kisah pembunuhan dan pemerkosaan yang pelakunya dan saksi mengisahkan kronologis yang berbeda.

Multi Plot adalah pola bertutur dengan banyak plot, yang kemudian akan bertemu di satu titik. Contohnya ada di film Babel karya sutradara Alejandro Gonzalez Innaritu (2006). Contoh yang paling mudah kita temukan di sinetron serial seperti Tukang Bubur Naik Haji. Ada plot utama, tetapi banyak juga sub plot lainnya yang kadang seperti berdiri sendiri. Namun pada akhirnya tetap kembali kepada plot utama tersebut.

Penentuan struktur cerita ini sebenarnya sudah ada sejak skenario film dibuat. Editor pun bisa memberikan masukan-masukan tentang bagaimana struktur yang menurutnya bagus untuk digunakan. Terkadang juga setelah syuting selesai, setelah melihat hasil editan kasar (rough cut), editor dapat memberikan ide tentang bagaimana struktur yang semestinya. Apakah linear atau non linear? Jika non linear harus mulai dari mana? Dan endingnya bagaimana? Walau keputusan final ada di tangan sutradara.

Struktur Scene

Tidak hanya persoalan struktur film secara utuh yang perlu disadari oleh seorang editor. Struktur sebuah scene pun perlu menjadi perhatian penting. Sebuah scene yang dibuat harus mulai dari shot apa, dan ending scene nya pun seperti apa?

Tidak melulu sebuah scene dimulai dari master shot (wide shot), bisa saja diawali dengan close shot atau dengan shot lainnya. Di sinilah seni editing dimainkan oleh editor. Seorang editor harus mengetahui tujuan dari setiap scene. Apakah untuk membuat penasaran? Ketegangan? Mengendorkan ketegangan? Romansa? Atau apa? Struktur shot dalam sebuah scene bisa juga berbentuk linear atau non linear.

Keawaman dalam memahami struktur ini bagi para filmmaker dan videographer pemula, membuat banyak sekali karya-karya yang monoton. Kadang tidak tahu ingin berkisah seperti apa? kadang membosankan ditambah dengan durasi yang lama. Tidak tahu bagaimana membuat opening dan ending. Padahal ini lah inti dari kerja seorang editor. Bukan dengan gaya-gayaan efek yang kekinian tapi nggak jelas mau berkisah seperti apa.

Dengan kesadaran tentang struktur ini, semoga para pemula bisa lebih baik lagi dalam bertutur lewat bahasa audio visual. Dan struktur seperti ini bisa diterapkan baik di film pendek, documenter, company profile, sampai video kawinan (cinematic wedding).

Contoh paling umum saja ada di pembuatan video kawinan. Betapa banyak video kawinan yang dihasilkan, tetapi strukturnya selalu begitu-begitu saja. Padahal dengan pemahaman struktur ini, banyak sekali inovasi yang bisa dibuat. Misal opening mungkin dimulai dari pengucapan akad. Atau bisa saja dimulai dari adengan menghitung angpau. Tidak harus selalu diawali dengan pakai baju pengantin.

Memahami struktur ini akan membuat kita untuk lebih kreatif dan inovatif dalam melahirkan karya-karya visual. Bahkan meski video kita tidak terlalu banyak menggunakan efek-efek terbaru, tetapi bila kita mahir dalam mengolah struktur, maka film/video kita akan berkesan bagi penonton. Mereka seolah melihat sesuatu yang baru. Penonton tidak merasa bosan karena melihat video yang begitu-begitu saja. Aplikasi, software, efek, transisi, grading, adalah persoalan nomor kesekian dalam editing. Dan sudah banyak tutorialnya kita temukan di youtube. Baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing.

Selanjutnya selain struktur, kita akan membahas tentang Beragam Konsep Dalam Editing Film atau Video.

Mungkin Anda Menyukai