Lika-Liku Meniti Karir Menjadi Sutradara Film

Mungkin ada yang bertanya:

“Gimana sih caranya jadi sutradara? Sekolahnya di mana? Apa saja yang harus diketahui?

Cara meniti karirnya gimana?”

Mungkin ada banyak cara agar orang bisa menjadi sutradara. Ada yang berangkat dari penulis skenario, ada yang dari aktor, ada yang dari produser, ada yang dari cameramen, edtor, asisten sutradara, pencatat adegan, unit manager, bahkan ada juga yang dari PU (Pembantu Umum, semacam OB di lokasi syuting).

Ada juga yang berangkatnya dari profesi lain di luar lingkungan kerja orang-orang film, seperti dari penulis novel, pekerja teater, komika, karyawan bank, atau pengangguran.

Tetapi di kesempatan kali ini saya akan berbagi seputar pengalaman pribadi saja.

Santri Hobi Ke Bioskop

Sejak mondok di Pesantren Darul Arqam Gombara, Makassar, saya memang bercita-cita menjadi sutradara film.

Yang mempengaruhi saya waktu itu adalah kegiatan teater di pondok, kegiatan jurnalistik, dan bahan bacaan terutama karya sastra dan majalah film.

Saya juga hobi keluar pesantren untuk nonton film di bioskop.

Bisa terkata, semua bioskop di kota Makassar (waktu itu namanya masih Ujung Pandang), pernah saya duduki.

Mulai dari yang mahal seperti Makassar Theater (harga tiket waktu itu 5000 perak). Sampai yang paling murah di Apollo dengan harga tiket 500 perak.

Bermacam film saya tonton. Film barat, Indonesia, India, dan Mandarin. Genre apa saja saya lahap. Kadang juga dalam sehari bisa sampai 2 kali saya nonton di bioskop yang berbeda.

Kegiatan inilah yang membuat tekad saya semakin kuat untuk menjadi sutradara.

Setelah tamat dari pondok pesantren, saya ditanya oleh keluarga: “Mau kuliah di mana, Nak? IAIN?”

IAIN itu UIN jaman old. Biasanya anak pesantren lanjut kuliahnya di situ.

Kuliah Film

Saya bilang mau kuliah di IKJ jurusan film.

Wah, semua terperanjat.

Masak santri mau sekolah film?

Mau jadi apa?

Pada waktu itu tahun 1990-an memang film-film Indonesia lagi jaya-jayanya.

Seperti film Gairah Malam, Akibat Hamil Muda, Ranjang Pengantin, Bebas Aturan Main, dan sejenisnya.

Pemain-pemainnya juga top top seperti Ayu Azhari, Malfin Shyaina, Taffana Dewi, Shelly Marcelina, Eva Arnaz, dkk. Sesama bom sex. HAHA

Jadi anggapan orang di kampung waktu itu, kalau jadi orang film pastilah rusak moral. Kuliahnya pasti nggak bener.

Jauh dari nilai-nilai yang diajarkan di pesantren.

Tapi karena tekad sudah bulat ya akhirnya orang tua dan keluarga tetap support untuk belajar film.

Fakultas Film dan Televisi IKJ angkatan 1996
Fakultas Film dan Televisi IKJ angkatan 1996

Mulai Belajar Film

Saat kuliah film, saya juga aktif di Mimazah – semacam rohisnya atau LDK-nya kampus IKJ.

Di situlah saya berkenalan dengan seniman senior seperti Chaerul Umam, Dani Sapawie, Zak Sorga, Tri Aru Wiratno, Rizal Basri, Han Revo Joang, Syaeful G. Wathon, Sapto Wibowo, dll.

Lalu saya ikut produksi FTV “Sulam”

Syutingnya di Bandungan, Semarang. Sekitar tahun 2000-an awal,

Saya waktu itu jadi Pencatat Adegan.

Atau di lokasi bilangnya script.

Saat syuting ada beberapa kru yang bilang: “Wah, entar lo jadi sutradara yak?”

Saya nggak tahu apa motif pertanyaannya.

Saya waktu itu niatnya emang cuma mau belajar aja.

Magang lah gitu.

Baru juga ikut 1 judul udah mau jadi sutradara aja.

Setelah FTV “Sulam” itu, saya banyak terlibat di FTV2 dan sinetron Ayahanda Allahuyarham Chaerul Umam.

*jadi sedih ingat beliau

Di antaranya di awal 2000-an itu adalah “Jalan Lain Ke Sana”

Setelah Jalan Lain Kesana yang pertama, saya tidak ikut yang kedua.

Belajar di Teater

Saya malah intens terlibat sebagai Aktor di Teater Kanvas asuhan Zak Sorga.

Beberapa lakon yang saya mainkan sperti: Pasukan Berani Mati, Wek Wek, Pemilu Di Desa Gandul, dan beberapa nomor pertunjukan juga pantomime.

Di sinilah saya belajar keaktoran, dan sangat bermanfaat di kemudian hari sebagai sutradara dalam mengarahkan aktor dan menemukan solusi masalah keaktoran.

Pemilu Desa Gandul Teater Kanvas
Firman Syah bersama Ery Makmur di Pentas Pemilu Desa Gandul – Teater Kanvas.

Selama bergelut di dunia Teater dan Keaktoran, saya juga mengerjakan beragam project video: dokumenter, company profile, iklan layanan masyarakat PSA, video clip, dan wedding.

Saya juga sempat bergabung di tim media Yayasan Nurani Dunia pimpinan Imam B. Prasodjo yang mengerjakan beberapa film dokumenter. Termasuk dokumenter Recovery Tsunami Aceh.

Beberapa skill saya bertambah. Sebagai kameramen, editor, narator, juga penulisan skenario.

Saya sempat juga menjadi ghost writer dan co writer di beberapa sinetron Hidayah, Hikayat, Mat Jiung, dll.

Apa bedanya ghost writer dan co writer?

Sebenarnya sih gak ada. Sama2 gak dicantumkan namanya di credit title.

Cuma bedanya:

Waktu jadi ghost writer. Saya tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dengan Penulis Skenario yang tertera namanya di Credit Title.

Waktu jadi co writer, saya intens berkomunikasi dan berdiskusi dengan Penulis Skenario.

Kira-kira setahun sebelum syuting Film KCB. Mega Film Ketika Cinta Bertasbih.

Saya mengerjakan beberapa film dokumenter bersama Allahuyarham Chaerul Umam.

Di situlah saya diajak syuting ke Mesir sebagai Pencatat Adegan atau script atau klepper.

Pencatat Adegan ini bagian dari Divisi Penyutradaraan bersama Astrada.

Jadi kadang juga disebut astrada saja untuk memudahkan orang yang bertanya.

Karena jadi bagian dari tim penyutradaraan. Di lokasi pasti satu mobil jemputan dengan Pak Chaerul Umam.

Alhamdulillah saya jadi banyak belajar.

Terutama belajar makan kambing.

Beliau memang maniak makan kambing: saya jadi tahu abu salim, domba afrika, tengkleng, gongsow kambing, dllm

Makan Kambing Gongso dengan Chaerul Umam
Makan Kambing Gongso dengan Chaerul Umam di sela-sela syuting film Cinta Suci Zahrana. Bersama Dani Sapawie, Han Revo Joang, Firman Syah, dan Kang Obar Sobari.

Oh iya, saya pernah juga menjadi astrada Bang Zak Sorga di beberapa FTV. Juga pernah jadi astrada Bang Zul di film Sang Murabbi.

Setelah booming film KCB, akhirnya dibikinlah Sinetron KCB Ramadhan.

Posisi saya waktu itu masih Pencatat Adegan.

Di sinilah ada terbetik dalam hati: “Ini sudah berapa tahun posisi gw masih script2 aja. Kapan jadi sutradaranya?”

Tetapi semua proses tetap saya jalani dengan baik dan sabar.

FYI, Syuting serial KCB Ramadhan itu tidak seperti syuting sinetron lainnya yang kebut kejar tayang.

1 hari syuting 1 episode.

Tetapi prosesnya masih pakai gaya lama.

Inilah keunikan tim Chaerul Umam saat itu.

Masih dibolehkan syuting 1 episode di kerjakan 5-6 hari.

Jadi serial KCB syutingnya jauh hari sebelum tayang.

Istilahnya nyetok. membuat stok tayangan.

Nah, Di tengah2 suting serial KCB tersbut ternyata setelah dihitung2, kita tidak akan bisa mencapai target 50-an episode hingga akhir ramadhan.

Mau nggak mau ya harus dibentuk tim 2 (dua).

Tim 2 ini adalah tim syuting dengan sutradara dan kru yang berbeda tetapi mengerjakan judul sinetron yang sama.

Tim 2 dan tim 3 ini sudah sangat lazim di sinetron sinetron lainnya untuk mencapai target kejar tayang.

Tetapi tim Chaerul Umam belum terbiasa dengan pola seperti ini.

Dan Chaerul Umam dengan idealismenya, tidak mau dibagi-bagi tim seperti itu.

Beliau ingin karyanya dikerjakan sendiri.

Mungkin ada kekhawatiran beliau terhadap tim 2 kalau nantinya tidak sesuai dengan ekspektasinya.

Tetapi karena situasi udah semakin mendesak. Bulan Ramadhan hampir usai tapi stok episode masih banyak. Maka mau tidak mau harus ada tim 2 agar target episode itu bisa tercapai.

Waktu itu terbitlah beberapa nama yang digadang gadang sebagai patner duet penyutradaraan bersama Chaerul Umam.

Beberapa nama sutradara senior dan asisten sutradara yang sudah lama ikut Chaerul Umam diajukan.

Beberapa kandidat nama diusulkan.

Jadi Co-Sutradara

Tetapi entah kenapa nama saya juga ikut diusulkan?

Lalu dipanggil lah saya oleh Bang Dani Sapawie. Beliau bilang: “Besok ente siap2 jadi Co-Sutradara ya di tim 2?”

Saya sungguh terkejut. Masak script yang ditunjuk untuk pegang tim 2?

Jadi duetnya sutradara Top Markotop Senior Banget?

Emang nggak ada nama-nama lain?

Lah nama-nama sutradara yang kemarin disebut-sebut itu kok ilang?

Astrada kan juga bisa?

Entah apa yang mendasari keputusan itu, saya sendiri sampai hari ini belum tahu.

Dan tidak mau bertanya juga.

Sungkan. Dan hanya bisa mengira-ngira saja.

Syuting Sinetron Ketika Cinta Bertasbih Ramadhan
Syuting Sinetron Ketika Cinta Bertasbih Spesial Ramadhan. Latar Belakang para artis sedang take greeting.

Mulai Menyutradarai Sinetron

Awalnya saya masih diberi scene2 yang gampang…

Setelah diedit dan digabung dengan hasil kerja tim 1, eh ternyata RASA-nya itu sama.

Baik dari pengadeganan, kamera, suara,  semuanya identik.

Orang tidak bisa membedakan mana hasil kerja tim 1 dan tim 2.

Sejak itulah tim 2 diberi porsi scene yang sama dengan tim 1.

Perkembangannya tetap dipantau.

Alhamdulillah haslnya identik. Tidak ada perbedaan.

Bahkan terkadang tim 2 diberi porsi scene yang lebih banyak karena kami kerjanya cepat.

Beruntung saya memahami kerja editing karena sebelumnya sy pernah jg jadi editor. Sehingga ada teknis di lapangan yang bisa saya akali sehingga kinerja lebih cepat.

Dan itu yang disukai produser.

Dan Alhamdulillah target sinetron KCB berhasil sesuai dengan rencana.

Cerita belum sampai di sini.

Di perhelatan Festival Film Bandung 2011.

Pagi2 saya di telpon untuk bersiap ke bandung untuk ikuti acara FFB.

Sibuklah saya mencari batik dan sepatu.

Maklumlah, saya memang jarang mengikuti acara-acara formal. Akhirnya terpilihlah baju batik lengan pendek beserta celana kain. Saya tidak punya pikiran apa-apa tentang acara tersebut. Paling-paling sekedar memenuhi undangan atau ya biar ada kegiatan lah gitu.

Kami janjian berangkat dari Gedung Proklamasi. Sesampai di situ, eh ternyata ada beberapa orang lagi yang akan ke Bandung. Ada Eka Rahendra, Rudy Koerwet, dan Untung Wahono. Setelah makan sop sumsum kambing dan sate kambing, kami pun berangkat ke Bandung. Setibanya di hotel Horison Bandung, acara FFB 2011 belum di mulai. Saya sempat memotret suasana ruangan pake bb.

Masih pake hangpon jadul.

FFB 2011

Kami menikmati makan malam terlebih dahulu. Saya sempat berjumpa Meyda Sefira dan Oki Setiana Dewi yang turut hadir di acara tersebut. Kami tidak sempat ngobrol panjang karena kedua artis tersebut harus bersiap menjadi pengisi acara atau pembaca nominasi. Saya planga-plongo saja melihat riuh rendah para insan perfilman yang hadir. Sesekali ngetwit tentang kondisi acara FFB2011 atas permintaan akun @FILM_Indonesia.

Acara FFB berlangsung meriah. Hilir mudik para artis dan sineas menerima piala. Termasuk tim KCB yang masuk nominasi.

Sementara saya asyik ngetwit melaporkan kejadian yang tengah berlangsung, tiba-tiba Pak Chaerul Umam yang sedang di atas panggung menerima piala berkata: “Karena saya menyutradarai sinetron ini tidak sendirian. Saya dibantu oleh sutradara muda berbakat. Maka saya memberikan piala ini kepada Firman Syah.”

Saya pun terpaksa maju ke atas panggung untuk menerima Piala FFB tersebut kategori Sutradara Sinetron Terpuji.

Sejak itu, saya terus mendampingi Pak Chaerul Umam sebagai co Sutradara menggarap beberapa sinetron dan film layar lebar. Termasuk mendampingi Kang Abik di film Dalam Mihrab Cinta.

Sepeninggal beliau, saya menyutradarai TVM “Karena Aku Cinta Baginda Nabi; Memakmurkan Masjid”, “Ngantri Ke Sorga”, lalu film “Ketika Mas Gagah Pergi the Movie” dan “Duka Sedalam Cinta”.

Tadinya film Ketika Mas Gagah Pergi ini akan disutradari oleh Chaerul Umam dan diproduksi oleh sinemart. Tapi karena beliau mangkat, maka Mbak Helvy mempercayakannya kepada saya.

Ada beberapa pelajaran penting bagi diri saya sendiri menjalani proses ini:

  1. Sabar karena pasti ada masanya.
  2. Keinginan belajar yang kuat.

Cara menjadi sutradara ada beberapa cara:

  1. Mengikuti sutradara senior dan bersabar hingga tiba masanya.
  2. Punya duit banyak atau bisa mencari uang banyak untuk membiayai film sendiri.
  3. Punya kenalan/kerabat produser.

Mungkin sampai di sini dulu dongeng pengantar tidurnya.

Semoga ada manfaatnya.

Terima kasih dan Mohon maaf bila ada salah kata.

Tanya jawab

Tanya #1

Hadis Mevlana
tanya mas @Firman Immank Syah :
apakah hal sulit bg sutradara dlm menerjemahkan skenario menjadi adegan?

Jawab:

Karakterisasi tokoh.

Semakin unik, semakin bagus.

Sebenarnya di skenario sudah ada deskripsi karakterisasi.

Tetapi sutradara harus melakukan Pengayaan Karakter agar menjadi lebih kuat dan unik.

Ini hal yang sangat mendasar dan juga sulit.

Kesulitan lainnya adalah persoalan estetika.

Film kan sudah banyak.

Adegannya yang begitu2 saja.

Nah, kita harus mengulik agar adegan2 itu tidak sama dengan film2 lain dan hasilnya lebih bagus.

Tanya #2

Dari Mas Hadi juga
Seberapa mungkinkah sutradara mngimprove suatu adegan yg sbtulnya tdk ad d skenario?

Jawab

Bebas aja.

Tapi jangan sampai improvisasinya itu membelokkan cerita atau membuat uncharacter. Tokoh menjadi tidak sesuai dengan karakternya.

Keistiqomahan menjaga kontinuitas karakter ini sangat penting bagi tim penyutradaraan.

Kalau gak konsisten pasti penonton bingung dan merasa aneh.

Alhasil penonton tidak bisa menikmati filmnya dengan baik.

jadi adegan sy buka pintu d DMC kan g ad d script.

tp on the spot “diadakan” krn utk sbatas mnyambung antar scene spy tdk “bolong”.

Kalo itu sih improve biasa aja mas. Soal teknis sambung menyambung adegan.

Yang perlu kita waspadai itu kalau improve yang berkaitan dengan estetika film.

Tanya #3

Mbak Diah
Mas Imank yg bikin film singkat mengcounter film Anto Galon Khan?

Bukan. Saya cuma komen di fesbuk sambil bercanda mengusulkan cerita tandingan.

Saya sendri tidak berminat mengcounter film Anto Galon.

Saya merasa tidak perlu karena kita bisa bikin film sendiri yg lebih baik.

Tanya #4

dari Mbak Watie di Grup WA MSI DKI
Bagaimana caranya bisa terlibat dalam satu film .. meski hanya jadi pemeran figuran?

Ikut agency talent.

Punya kenalan orang film.

Tanya #5

dari Mbak Diah
Kalau novel pengen dijadikan film gimana caranya?

Kalo novelnya laris banget sih tinggal nunggu produser aja datang ke rumah.

Pasti ada yang beli..

Kalau belum terkenal ya harus booming agar laris manis.

Sebab produser hanya mau memfilmkan novel yang laris manis.

Tapi kalau tetap berniat memfilmkan novel yang belum laris.

Ya cari duit dan sponsor utk bikin film tersebut.

Tanya #6:

Dian
Apakah sutradara juga bertanggung jawab atas ekspresi pemain? Dan apakah juga merupakan tugas sutradara agar adegan dan dialog di dalamnya menjadi wajar atau melulu ngikutin apa yang tertulis di skenario aja?

Apa yang dilakukan Aktor baik dialog, gerakan, dsb adalah tanggung jawab sutradara.

Sutradara dapat mengarahkan pemain begini dan begitu.

Sutradara pun dapat membiarkan pemain begini dan begitu. Artinya sutradara menyetujui apa yang dilakukan pemain tersebut.

Biasanya di sinetron yang kejar tayang, sutradara membiarkan pemain beraksi sesukanya tanpa diarahkan atau dikoreksi. Yang penting target scene hari itu tercapai.

Tanya #7

Tya
Mas Firman.. Salam kenal dari saya ya mas.
Saya mau bertanya.
Bagaimana seorang sutradara menjaga editorial thinking di setiap karyanya supaya tidak monoton?
Apakah ada kiat tersendiri dari mas Firman?
Semoga kita bisa bekerjasama di kemudian hari ya mas
Terima kasih ??

Sebenarnya saat membaca skenario, sutradara seperti saya biasanya sudah punya bayangan akan begini akan begitu.

Decoupage, staging, bahkan sampai audio dan music pun terbayang dalam pikiran.

Pacing filmnya pun telah terbayangkan saat membaca skenario.

Dan itu akan selalu terjaga saat membaca ulang skenario.

Kalau pun ada pengembangan, pasti tidak terlalu jauh sampai mengubah pacing adegan.

Agar tidak monoton, biasanya saya punya jurus tertentu mbak.

Umpanya di adegan 1 saya menggunakan cut to cut cepat, di adegan2 berikutnya saya menggunakan long take.

Dinamisasi inilah yang membuatnya tidak monoton.

Tetapi intinya sih bukan gaya teknis tersebut.

Yang penting sih RASA-nya adegan itu mau apa?

Romantis kah? Gelisah kah? atau apa?

Rasa inilah yang jadi patokan saya membuat sebuah adegan.

Note

Editorial Thinking itu kayak bayangan sutradara akan jadi gimana shot2nya di meja editing. Gimana nyambung2nya….

Kan waktu syuting kita gak tau gimana tuh film jadinya?

Decoupage itu kayak membagi 1 adegan menjadi beberapa shot. Tapi bisa juga 1 scene itu hanya 1 shot, jadinya long take.

Bisa juga 1 shot itu terdiri dari beberapa scene. Itu soal gaya dan estetika. Yang penting sih RASA.

Sumber

Grup WA Mata Sinema Indonesia

Jumat Sharing 1 September 2017

https://youtu.be/EZvMXe3LISY

Mungkin Anda Menyukai