Andi Mattalatta Menegakkan Siri Dengan Prestasi

Di mata orang Bugis Makassar, harta kekayaan dapat dibeli, tetapi siri’ dan harga diri adalah anugerah Tuhan yang tidak bisa diperjualbelikan. Sekali siri’ dan harga diri itu hilang, maka hidup tak berguna lagi.

Begitulah ungkapan seorang Andi Mattalatta yang ditulis sendiri dalam buku biografinya berjudul “Meniti Siri’ dan Harga Diri”. Nilai siri’ itu selalu menjadi pedoman yang bersemayam kuat dalam dirinya. Sejak kecil hingga wafat, beliau tak pernah lepas dari kesadaran dan semangat dalam meniti lakon siri’ dan harga diri dengan sebenar-benarnya.

Andi Mattalatta terlahir sebagai anak Raja Bugis pada tanggal 1 September 1920 di Jampue-Barru, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Pawiseang Daeng Ngerang Arung Mangempang Petta Pandegara, Raja Barru ke-17. Dan Ibunya bernama Majjajareng Daeng Kanang Petta Indo Datu Salonro, putri dari Padduppa Datu Salonro Arung Ujung, Soppeng.

Setelah tamat dari Gouvernement Inlandsche School, pada tahun 1929, Andi Mattalatta disekolahkan ibunya di Gouvernement Openbare Schakel School Makassar, dan indekos di rumah Tuan Franz bersama beberapa putra raja, salah satunya adalah Andi Abdullah Bau Massepe.

Suatu saat, Andi Abdullah menguji Andi Mattalatta berkelahi dengan anak Belanda bernama Paul Hoffman, tetangga mereka yang badannya jauh lebih besar. Kata Andi Abdullah: “Jangan menjadi pengecut. Kamu keturunan pahlawan. Walaupun lawan sebesar raksasa, kamu harus berani menantangnya. Kalau dia tidak mau berkelahi, tarik saja ‘kemaluannya’ supaya dia marah!”

Walhasil, Andi Mattalatta dihajar Paul Hoffman sampai babak belur. Harga dirinya terlucuti. Tapi, Andi Mattalatta tetap sabar dan menerima kekalahan dengan fair. Dia lalu membalasnya dengan tekun dan berlatih keras ilmu bela diri. Dan, bukan hanya pencak silat, kuntao, jiujitsu, hingga tinju pun dikuasainya.

Andi Mattalatta juara tinju di kelas Bantam. Sering menang KO menumbangkan para juara di kelas Bulu dan kelas Ringan, termasuk menang KO melawan Kid Usman petinju Batavia dari kelas ringan, pada tahun 1938.

Herman, begitulah Andi Mattalatta dipanggil oleh orang Belanda. Sewaktu baru meraih peringkat empat besar dalam lomba renang 100 meter gaya dada pada Agustus 1932, seorang bocah Eropa bernama John Rouwendal menghampiri sembari meledek. “Herman, bagaimana kamu bermimpi mau mengalahkan saya jika kamu cuma seorang katai?”

Katai adalah cibiran untuk orang bertubuh pendek. Harga diri Andi Mattalatta kembali terusik. Tapi dia memilih menahan diri dan berusaha merebut kembali harga diri itu dengan cara yang berbeda. Ia memacu diri dan tekun berlatih renang dengan disiplin yang ketat. Jika John berlatih 2 jam sehari, maka dia berlatih selama empat jam sehari.

Setahun kemudian, bertemulah Andi Mattalatta dan John Rouwendal di arena lomba renang Surabaya. Sebelum bertanding, John masih sempat meledek ulang Andi Mattalatta dengan sebutan katai. Namun, ia tidak menggubrisnya dan tetap fokus. Di gaya bebas 100 meter, Andi Mattalatta mengambil teknik bernapas setiap empat kali kayuhan tangan. Berbeda dengan peserta lain, yang mengambil napas setiap 2 kali kayuhan. Ia melaju deras ke garis finish dan menjuarai lomba dalam waktu 61 detik. John di urutan kedua dengan waktu 63 detik.

Begitulah cara Andi Mattalatta menegakkan dan membuktikan siri’ dan harga diri. Bukan dengan badik disertai amarah membabi buta, melainkan dengan mengukir prestasi. Baginya siri’ itu need for achievement. Dan terbukti, serangkaian prestasi di berbagai cabang olahraga diraihnya. Mulai dari lari, lompat indah, senam, terbang layang, balap sepeda, bulutangkis, sepak bola, sepatu roda, layang gantung, dan lainnya.

Beliau juga mahir berkuda dan menembak. Memainkan cambuk dan laso. Jago ski air, jumping boat, dan jet ski. Nama Andi Mattalatta terukir harum sebagai Bapak Pencetus lahirnya olahraga ski air di Indonesia. Bahkan, nama dan jejaknya tercatat sebagai orang Asia pertama dan satu-satunya yang masuk “Hall of Fame” dari International Waterski & Wakeboard Federation pada tahun 2013.

Andi Mattalatta melakukan Jumping Ski di pantai Losari Makassar.

Pemrakarsa PON IV Makassar dan Pendiri Olahraga Ski Air

Andi Mattalatta sangat mencintai olahraga. Apapun dilakukannya demi mengembangkan dan meningkatkan prestasi atlet. Dialah pemrakarsa penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) IV di Makassar pada 1957. Selain cinta olahraga, beliau ingin menjalankan taktik uitholling yaitu menarik kembali para gerilyawan yang masuk ke hutan bersama Kahar Muzakkar, agar bisa keluar dan menikmati tontonan olahraga sebagai the only game in town.

Ide ini mulanya ditolak pejabat Komite Olimpiade Indonesia (KOI), karena menganggap Sulawesi Selatan dan Tenggara masih kacau balau. Tidak aman. Ditambah lagi belum tersedianya stadion olahraga dan sarana lainnya. Tetapi Andi Mattalatta mampu meyakinkan para pejabat pusat, bahwa dia adalah orang yang punya kehormatan dan harga diri, dan sanggup mengatasi segala tantangan.

Atas dasar inilah, Sri Sultan Hamengkubowono IX sebagai ketua umum KOI merestui dan memutuskan pelaksanaan PON dilaksanakan di Makassar. Sri Sultan menegaskan alasan dukungannya dengan berkata: “Tidak ada manusia Indonesia yang saya kenal yang dapat saya samakan dengan Andi Mattaltta. Beliau menggempur Belanda di Sulawesi Selatan dan di Pulau Jawa ini secara terus menerus, tanpa berhenti, tanpa mau istirahat. Saya kira, tanpa perjuangan Andi Mattalatta, mungkin kita masih jajahan Belanda!” tandas Sri Sultan.

Ternyata garansi dari Sri Sultan sahabat Andi Mattalatta itu benar, PON IV mampu digelar dengan meriah dan sukses di Makassar, dari 28 September hingga 6 Oktober 1957.  Dibuka oleh Presiden Soekarno. Turut dihadiri 13 menteri dan sejumlah duta besar negara sahabat. Presiden dan rombongan sempat berdecak kagum kala menyaksikan atraksi ski air dan jumping boat di Pantai Losari yang dipertontonkan langsung oleh Andi Mattalatta bersama para atlet gagah dan cantik. Atraksi itu memukau perhatian Presiden Soekarno dan seluruh tamu udangan VIP. Menariknya, kala itu demonstrasi ski air hanya berlangsung singkat, tapi Presiden Soekarno meminta diperpanjang lagi, demi menikmati atraksi olahraga perairan pertama di Indonesia.

Menggebrak Meja Bung Karno

Andi Mattalatta pernah merasa terusik siri’nya saat bertemu Bung Karno di Istana Kepresidenan Yogyakarta, 26 Januari 1946. Kala itu Presiden Soekarno bertanya soal keseriusan para raja dan pemuda Sulawesi Selatan untuk merdeka.

Sambil menggebrak meja Andi Mattalatta menjawab; “Kami tidak akan berada di sini, kalau belum siap untuk merdeka!”

La Nakka, teman serombongannya dari Makassar mengingatkannya bahwa di hadapan kita adalah Presiden Indonesia. Andi Mattalatta pun tersadar dan segera meminta maaf dan siap menerima hukuman.

“Duduklah kembali. Saya tidak marah. Saya senang melihat keberanianmu. Saya teringat waktu datang ke Makassar pada bulan Mei 1945. Dalam pidato saya imengajak seluruh masyarakat dan pemuda Sulawesi Selatan untuk bersatu, merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika itu saya kembali ‘menantang’ para pemuda: saya tidak perlukan satu juta pemuda. Saya tidak perlukan seribu pemuda. Saya hanya perlukan seratus pemuda yang berjiwa banteng dan saya akan berikan bangsa Indonesia kehidupan yang layak.

”Apa kamu ingat peristiwa itu?” tanya Soekarno.

“Saya ingat Bapak Presiden,” jawab Andi Mattalatta.

“Dari 100 pemuda yang saya perlukan itu, salah satunya adalah kamu. Sekarang, saya perintahkan kamu menghadap Panglima Soedirman, untuk menerima petunjuk dan pengarahan.” Demikian perintah sang Presiden mengakhiri pertemuan.

Sebagai anak bangsawan yang sederhana dan pernah mengenyam bangku pendidikan Belanda, tidak serta merta Andi Mattalatta tunduk kepada penjajah dari benua Eropa itu. Malah, dia selalu memberi keteladanan kepada bangsanya untuk tidak berciut nyali dan merendahkan diri di hadapan orang Belanda dengan menaklukkan mereka di berbagai cabang olahraga hingga di medan tempur. Dia juga menolak mewarisi tahta kerajaan yang akan disematkan kepadanya, karena dia tidak ingin jadi feodal dan memungut pajak lalu diserahkan kepada pemerintah Belanda. Andi Mattalatta tidak ingin menghisap darah dan keringat rakyat. Dia selalu ingin bersama rakyat da membela bangsanya di setiap kesempatan.

Berperan Dalam Serangan Umum 1 Maret 19349

Andi Mattalatta juga berperan dalam serangan umum 1 Maret 1949. Selama 17 jam nonstop dia aktif menggempur dan memukul mundur pasukan Belanda. Bahkan, pasukannya sempat menguasai wilayah di sekitar Malioboro, Benteng Vre Den Burg dan gedung Asisten Residen (kini Istana Negara) yang kemudian menjadi bukti bahwa TNI sesudah aksi Militer Belanda ke II masih ada. Akibat serangan itu, Dewan Keamanan mendesak Belanda melakukan perundingan damai dengan Republik.

Andi Mattalatta berperan penting dalam berbagai pertempuran, misalnya, memporakporandakan pasukan-pasukan Belanda yang hendak menyerang markas Jenderal A.H.Nasution, Kepala Staf Pertahanan RI di Banaran, memporakporandakan pasukan Belanda di Kaliurang. Ia juga terlibat dalam berbagai pertempuran melawan RMS di Maluku, dan tidak kalah pentingnya, mengalahkan para gerombolan DI/TII di Sulawesi Selatan. Ia adalah jagoan yang tidak terkalahkan.

Kolonel Djatikusumo sangat terkesan dengan cara bertempur Andi Mattalatta: “Saya ikut meninjau sistem yang Pak Andi jalankan di Kaliurang, Saya berada di ketinggian di sebelah selatan Kaliurang dan dapat menyaksikan jalannya pertempuran dan serangan oleh Pak Andi. Luar biasa gencarnya serangan tersebut. Sepanjang hidup saya, serangan itu tidak dapat saya lupakan.”

Andi Mattalatta sungguh seorang pejuang sejati. Dia sumur inspirasi sekaligus cermin sejarah yang setia memantulkan keindahan cahaya. Lebih dari separuh hidupnya ia habiskan untuk berjuang mengangkat harga diri bangsa. Jiwanya selalu tulus ikhlas meskipun harus turun pangkat. Dan dia pantas bangga kepada sejumlah bekas murid didikannya yang memiliki pangkat lebih tinggi.

Namun, ia sangat terusik saat dianggap tidak nasionalis. Dia tak rela menyaksikan bangsanya dijajah bangsa lain. Ia malu jika menemukan anggotanya yang lebih mementingkan uang dari pada perjuangan. Ia murka kepada mereka yang memecah belah bangsa dan memporak-porandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia tak mau sejarahnya ternodai dengan segala bentuk kemunafikan dan balas jasa.

Sejak dulu hingga akhir hayatnya Andi Mattalatta sungguh tak pernah meminta sebuah penghargaan atau tanda kepahlawanan. Tidak pula dalam bentuk upacara pengakuan prestasi dan karya. “Saya tak pernah takut akan kematian fisik. Yang saya takutkan hanya kematian sejarah.”

Tonton film dokumenternya DISINI

Mungkin Anda Menyukai