Film Sang Mahaguru

Penulis: Andi Mattalatta

Dikutip dari bukunya “Meniti Siri’ dan Harga Diri” Catatan dan Kenangan.

Padang rumput Tompo itu terletak di sebelah barat Barru. Kurang lebih 12 km dari kampung JampuE, tempat di mana soraja Barru berada. Sejak berusia 11 tahun sampai berusia 17 tahun, setiap libur kuartal ketiga dan keempat, saya selalu pulang ke Barru untuk menikmati menunggang kuda di pegunungan Tompo. Sewaktu saya masih kost pada Keluarga Roukenz, Pim, Stien dan Beppy sering ikut libur ke Barru.

Untuk mempelajari akrobatik menunggang kuda, mula-mula saya pilih pelana terbaik yang Ayah sudah sediakan untuk tamu-tamunya. Lalu saya suruh pasangi tempat pegangan sebagaimana halnya zadel-zadel para cowboy. Lalu saya gunakan kuda kesayangan Ayah bernama La Bolong. Apa yang saya sudah latih di alat pommel horse nyatanya lebih gampang dengan kuda asli. Sambil La Bolong lari kencang, saya melakukan bermacam-macam gerakan akrobatik. Berpegang pada pegangan di zadel, saya jatuhkan diri ke sebelah kiri kuda lalu menendang dan tiba di sebelah kanan kuda. Gerakan itu saya lakukan beberapa kali. Kemudian saya berhenti dan duduk membelakang di atas kuda, lalu berpegang kiri-kanan pada bagian depan zadel (pelana) dan mengadakan kopstand (headstand). Kemudian saya hentikan kuda. Sesudah dia tenang, saya memegang pegangan zadel dan tangan yang lain memegang bagian belakang zadel lalu mengadakan hoogstand (berdiri di atas kuda) dan kemudian mengadakan doorval.

Biasanya saya ikut sertakan teman-teman saya yang senang hidup di alam bebas. Kami biasanya diawasi beberapa orang jagoan yang ditugaskan Ibunda Majjajareng untuk menjaga keselamatan kami. Sebenarnya puluhan teman saya yang meminta ikut libur ke Barru, tetapi saya selalu batasi sampai enam orang saja. Walaupun kami biasanya hanya empat hari di Barru, tetapi teman-teman saya sangat menikmati hidup di alam bebas sambil belajar naik kuda.

Mereka itu sering bertanya di mana dan oleh siapa saya belajar naik dan melakukan gerakan akrobatik di atas kuda. Saya mengatakan : “Dalam usia empat tahun saya sudah belajar naik kuda dari Ayah saya”. Mereka mau tahu bagaimana tampang Ayah, yang sampai tega mengajari putranya yang baru berusia 4 tahun naik kuda. Saya katakan nanti kunjungi saja Remie Voll di Makassar. Beliau tahu siapa sebenarnya ayah saya. Dan beliaulah yang mengajari saya naik kuda.

Teman-teman pun ingin tahu di mana saya belajar akrobatik naik kuda. Saya katakan, bahwa mahaguru saya adalah film-film cowboy. Kapan saja ada diputar film cowboy dan rodeo di bioskop Empress, Sengky, atau Sience, saya menyelinap dari rumah untuk menonton. Bintang-bintang film cowboy kegemaran saya dan sekaligus guru saya adalah: Wally Wales untuk akrobat menunggang kuda, Edmund Cobb yang ahli main cambuk, Tom Mix dengan kuda hitamnya yang sangat pintar bernama Tony, Ken Maynard dengan kuda putihnya bernama Shimmer dan juga sangat pintar, juga bintang film dan penyanyi bernama Roy Rogers dengan kuda putih bernama Trigger yang juga sangat pintar.

Selain film cowboy, saya juga sangat tertarik film-film rimba raya dengan peran utama seorang Athlete Allroud yang bernama Johny Weissmuller dalam filmnya : Tarzan The Ape Man, Tarzan & Jane, Tarzan & His Son. Juga film rimba raya yang memamerkan keindahan tubuh dan kecantikan juara 400 m gaya bebas Olympiade 1932 Los Angeles, Buster Crabbe, dan Miss Universe Betty Grable dalam filmnya : Caspa The Lion Man, Sun and Beauty.

Selain itu, film-film petualangan yang sangat menarik ialah Buffalo Bill dan Paone Bill. Film-film ini membangkitkan naluri sayauntuk berbuat sama dengan tokoh-tokoh di dalamnya, dan menjadi pahlawan yang tidak dikenal sekaligus pantang menyerah. Inilah pengaruh film dahulu kepada jiwa saya, mendidik saya berusaha menjadi jagoan dan menjadi pahlawan. Sebab, film-film dahulu ini mengajarkan kepada kita, bahwa kejahatan selalu kalah dan terbasmi. Itulah sebabnya film-film dahulu sangat bermutu sebab memberikan pendidikan yang sangat baik bagi golongan muda.

Itu berbeda dengan film-film sekarang yang banyak merusak akhlak golongan muda, karena yang dipertontonkan adalah kekerasan, kekejaman, penyelundupan narkoba, kekejaman tindakan para gangster, kebebasan kehidupan sex dan lain-lain. Televisi pun tidak memilih waktu untuk memajangkan pertunjukan yang seram ini. Apalagi sekarang ini dengan banyaknya bermunculan televisi swasta yang semau-maunya saja menayangkan pertunjukan apa saja yang memasukkan uang untuk keperluan perkembangan televisi tersebut. Pendidikan moral masyarakat tidak penting dan merasa bukan tanggung jawab mereka.

Kembali ke masa silam, suatu hari pada bulan November 1937, saya pergi menonton film Ken Maynard — bukan Edmund Coob yang jago main cambuk. Dalam film ini Ken Maynard menggunakan cambuk merebut pistol dari tangan bandit yang mau menembak kepadanya. Sedangkan, bandit yang lain Ken Maynard cambuk kakinya dan menariknya sehingga bandit tersebut jatuh, kepalanya membentur batu dan pingsan. Kemudian ia menyambuk lagi ke tiang yang terbentang di antara dia dengan beberapa orang bandit, lalu dengan cambuknya itu ia berayun ke jurusan bandit-bandit tersebut lalu dengan tendangan dan tinjunya merebahkan musuh-musuhnya tadi. Saya sangat terkesan dengan kehebatan main cambuk KenMaynard tersebut.

Kebetulan salah seorang penjaga kuda-kuda Ayah di Tompo adalah seorang ahli pemintal tali dari benang. Ia berasal dari Soppeng dan bernama Muhammad. Sayapun mendatangkan Muhammad dari Tompo dan membawa dia menonton film Ken Maynard tadi. Lalu saya tanya dia, apakah ia dapat membuatkan cambuk seperti Ken Maynard punya. “Saya akan berusaha, Puang,” katanya.

Diapun memulai memintalkan cambuk atas petunjuk saya, dan satu bulan lamanya cambuknya pun sudah selesai dipintal. Saya juga memintanya memintal tali lasso sepanjang 15 meter dan tali khusus untuk roupspinning. Mulailah saya belajar memainkan cambuk tersebut tanpa memilih waktu. Sesudah berlatih selama 9 bulan, saya sudah menguasai teknik mencambuk sehingga ayampun dapat saya tangkap dengan cambuk.

Suatu hari dalam bulan Juli tahun 1938, ada seorang lelaki yang kalap dan mata gelap. Beberapa orang terkapar di tanah hasil amukannya. Seluruh kampung Lariangbangngi, ramai-ramai menutup pintu dan bersembunyi di rumah. Waktu saya mendengar bahwa ada orang mengamuk dan mengejar serta membunuh siapa saja yang nampak di jalan, saya muncul dan memperlihatkan diri kepada orang yang mengamuk tersebut. Rakyat yang melihat berteriak histeris : “Nak, masuk rumah dan tutup pintu rapat-rapat, nanti engkau dibunuh oleh orang ngamuk”.

Saya tidak hiraukan teriakan-teriakan mereka. Dan setelah orang mengamuk itu melihat saya, dia menuju kepada saya. Saya menghindar sedikit lalu mencambuk kedua belah kakinya dan kemudian menyentak serta menarik rapat sehingga orang tersebut terjatuh. Setelah pemuda-pemuda melihat apa yang terjadi, ramai-ramai mereka datang membantu saya menangkap orang tersebut. Tak habis-habisnya rakyat memuja-muja keberanian saya. Sebenarnya tanpa cambuk pun saya mampu melumpuhkan orang tersebut. Saya hanya berniat mempraktekkan ilmu cambuk saya.

Selanjutnya, setiap saya berlatih bela diri di rumah, rakyat tidak lagi segan menonton. Banyak pemuda yang meminta turut berlatih. Tetapi ketika saya suruh mereka terlebih dulu membangun otot-ototnya dan setiap pagi sesudah sembahyang Subuh ikut lari bersama saya untuk mendapatkan daya tahan, mereka malah mundur satu per satu. Lari di waktu subuh itulah yang tidak dapat dipenuhi para pemuda itu. Sehingga lambat laun malu sendiri ikut berlatih bela diri.

Selain berlatih menggunakan cambuk, saya juga berlatih menangkap kambing atau sapi dengan menggunakan lasso dari jarak enam dan sembilan meter, karena dengan jarak ini di NIP kita dapat memperoleh masing-masing satu insigne. Disamping itu saya juga berlatih roupspinning, sebagaimana yang saya tiru dari film-film cowboy dan rodeo. Dalam tempo dua bulan saya sudah mahir melakukan crinoline dan ocean-walk. Skipping saya pelajari selama empat bulan barulah saya dapat melakukan dengan baik. Memang mempelajari roupspinning adalah skipping yang paling susah dipelajari dan harus memiliki semangat ketekunan yang luar biasa, baru dapat menguasai skipping, dan saya kira di seluruh Hindia Belanda saya-lah satu-satunya yang dapat melakukan skipping.

Mungkin Anda Menyukai