Urgensi Literasi Film di Indonesia

Perkembangan teknologi digital semakin hari semakin tak terkendali. Kecepatan perkembangannya tidak berbanding dengan literasi media digital para penggunanya. Contohnya saja smartphone, masih banyak para pengguna yang tidak mampu mengoptimalkan fitur-fiturnya. Akhirnya hape canggih nan mahal pun hanya digunakan untuk selfie dan main game.

Sampah Digital

Kamera digital pun perkembangannya sungguh pesat. Yang tadinya hanya bisa membuat foto, sekarang pun bisa membuat film atau video. Jenis dan ukurannya pun beragam. Tetapi lagi-lagi karena minimnya literasi media, maka kamera-kamera tersebut yang dibeli dengan harga yang tidak murah, hanya menjadi pajangan. Kalaupun digunakan, lebih banyak menghasilkan sampah digital.

Kenapa sampah digital? Baik pengguna kamera hape maupun kamera only, tidak memiliki kemampuan artistik dalam menghasilkan foto dan video yang baik. Kalau tidak percaya, lihat saja postingan di media sosial Instagram atau facebook. Kebanyakan foto tidak memenuhi standar komunikasi apalagi standar artistik yang baik. Asal bisa jepret saja.

Banyak fotografer atau videographer professional yang enggan dipotret oleh teman-temannya saat berwisata atau sekedar hangout di kafe. Enggan karena saat sang fotografer memotret temannya, hasilnya bagus. Tapi saat temannya yang memotret si fotografer, hasilnya sangat jauh dari kata memuaskan. Memang sih tidak harus sebagus sang fotografer, tapi minimal tidak buruk lah, sehingga foto itu harus dibuang ke tempat sampah.

Belum lagi soal pornografi. Karena ingin mendapatkan like dan comment di media sosial, akhirnya dibuatlah foto separuh bugil. Setelah kecanduan, buka semuanya. Semakin nyandu, bikin video intim dengan pasangan tak halal. Pasangannya unggah ke media sosial. Berantem. Putus. Lalu menyesali diri dan meratapi nasib. Rangkaian peristiwa tak menyenangkan ini berawal dari buruknya literasi media digital. Tak mengerti cara menggunakannya dengan baik. Dan tak paham apa-apa saja yang tak boleh dilakukan dengan perangkat tersebut.

Literasi Film

Kegiatan menonton, baik itu film atau sinetron, di bioskop, televisi, atau gadget, adalah aktivitas rutin harian bagi semua orang. Dari kakek nenek hingga balita. Namun anehnya, hampir tidak ada edukasi tentang bagaimana cara mengapresiasi tontonan dengan baik.

Literasi film, atau dulu disebut apresiasi film, sudah semestinya diajarkan sejak sekolah dasar. Para pelajar akan memahami sejarah tontonan. Pelajar akan dapat memilah sendiri tontonan apa yang tepat di usia mereka. Mereka menjadi tahu rating film, oh film ini hanya bisa ditonton oleh yang berusia 17 tahun ke atas. Oh film ini untuk segala usia.

Banyak sekali kasus anak dan remaja menonton film di bioskop yang tidak sesuai dengan rating usianya. Mereka menonton film tersebut ada karena inisiatif sendiri, ada juga karena diajak oleh orang tuanya, bahkan oleh guru sekolahnya. Miris sebenarnya melihat kondisi ini. Literasi film ternyata bukan diperuntukkan bagi anak sekolah saja, tapi lebih penting lagi buat orang tua dan guru.

Pendidikan film adalah sarana yang ampuh untuk dapat membantu pelajar memahami hubungan dunia mereka dan dunia lain: nyata dan khayal. Fakta dan fiksi. Literasi film akan mendorong kaum muda untuk belajar menonton dan menjadi konsumen kritis dari apa yang mereka lihat. Kemampuan ini akan terus berkembang: membaca, memahami, mengevaluasi, menyeleksi dan mengkritisi pesan yang terkandung dalam sebuah film. Termasuk juga sinetron, iklan, film pendek, video klip, dokumenter, dan apa pun yang berkaitan dengan media audio visual.

Literasi film atau kemampuan menghargai dan menganalisa film ini, adalah upaya peningkatan kemampuan yang semakin penting di abad 21 ini. Sama pentingnya seperti belajar baca tulis di abad-abad sebelumnya. Saat ini manusia tidak hanya sekedar melek huruf, tetapi juga melek media gambar dan suara (film).

Literasi film sangat erat kaitannya dengan literasi media, literasi digital, literasi visual, literasi audio, dan literasi lainnya. Film sendiri mempunyai elemen yang sangat banyak. Bukan hanya menyangkut Gambar dan Suara (Visual & Audio), tetapi juga menyangkut drama, sastra, teknologi mutakhir (high-end Tech), seni rupa, psikologi, emosional, manajemen, marketing, kreatifitas, kerjasama, tren, style, busana, riasan, arsitektur, dan aspek lainnya. Bukan hanya urusan teknis, tetapi juga budaya. Jadi dengan belajar tentang film, maka anak-anak dituntut belajar banyak hal dan jadi mengetahui banyak hal.

Pendidikan film mendorong pembelajaran, pemahaman kritis, perdebatan, dan percakapan tentang film dari berbagai tema. Mulai soal cerita, karakter, alur kisah, storytelling, akting, visualisasi, teknologi, musik, hingga soal gaya hidup.

Film mempunyai daya pikat yang luar biasa. Punya daya besar untuk mempengaruhi penonton. Untuk itu memang perlu telaah kritis terhadap film. Bagaimana seorang anak muda bisa memiliki kemampuan telaah itu jika tidak diajarkan tentang literasi film?

Dengan berkembangnya literasi film, maka anak-anak muda dapat mempertimbangkan apa yang hendak dikonsumsinya. Semakin bijaksana dan bertanggungjawab terhadap tontonan yang mereka gemari. Literasi film semakin hari urgensinya semakin kelihatan. Jadi tak dapat diulur lagi kapan hendak memulainya.

Kesadaran literasi film mulai tumbuh di negara-negara maju. Mereka lalu memasukkan kurikulum film di sekolah dan kampus. Juga di berbagai kegiatan ekstra kurikuler. Meskipun gerakan ini belum meluas dan merata. Apalagi di negeri kita yang kebijakan pendidikan film dan aktivitas film masih sangat rendah. Belum mendapat apresiasi yang layak sebagai produk seni budaya. Tetapi itu bukanlah alasan untuk tidak memulainya sejak saat ini.

Artikel ini pun ditulis untuk menggugah kesadaran berbagai pihak bahwa sudah saatnya pendidikan tentang film dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan seni di sekolah. Atau paling tidak, diadakan workshop film untuk semua siswa.

Nb: artikel ini boleh dikopas, dikutip sebagian atau seluruhnya, dengan menyertakan sumbernya: firmanimmanksyah.xyz

This post was last modified on 01/01/2019 14:28

Baca Juga

This website uses cookies.