Sistem Kekerabatan dan Pernikahan Sulawesi Selatan

Sistem kekerabatan dan pernikahan di Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis memperhitungkan kerabat dari ayah dan ibu terhadap seorang anak sama. Yaitu hubungan antara seorang anak dengan bapak adalah sama dengan hubungan terhadap ibunya, (bilateral). Dalam istilah Bugis ini bernama Assiajingeng.

Dalam hal kewarisan, suku Bugis menggunakan sistem yang sejalan dengan hukum Islam baik teori maupun praktek. Pengaruh Islam sangat kuat mengakar di dalam masyarakat Bugis. Sistem kekerabatan di Sulawesi Selatan ini oleh alim bijaksana merupakan kearifan lokal yang patut lestari dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

1. Istilah Kekerabatan

Semua orang yang terwakili oleh istilah kekerabatan kita sebut Seajing (reppe mareppe). Petali temalian antara satu dengan lainnya adalah Asseajingeng terdiri dari :

a.Reppek mareppek

  1. Lakkai: Suami
  2. Inang riale: Ibu kandung ego
  3. Amang riale: Ayah kandung ego
  4. Kajao riale: Ibu kandung dari ayah atau ibu
  5. Toak riale: Ayah kandung dari ayah atau ibu ego
  6. Anak dara: Saudara perempuan sekandung ego
  7. Padaorane: Saudara laki-laki sekandung ego
  8. Anak riale: Anak kandung dari ego
  9. Aunore riale: Anak kandung dari saudara laki-laki; laki atau perempuan ego
  10. Apporiale: Anak kandung dari anak kandung ego
  11. Amaure riale: Saudara kandung dari anak kandung ego
  12. Anaure riale: Saudara kandung perempuan atau ayah ego

b. Siteppang mareppe

  1. Baine atau induna: Istri
  2. Mertua riale: Ibu atau Ayah kandung istri
  3. Ipak anak orane: Saudara kandung laki-laki
  4. Ipak padakunnarai: Saudara kandung perempuan istri
  5. Baiseng: (Ayah atau Ibu kandung atau istri suami) anak–anak kandung
  6. Manettu riale: Istri atau suami anak-anak kandung

Mereka inilah keluarga (affinity) dengan istilah siteppang atau sompung lolo mareppek (keluarga inti) dari ego. Reppek mareppek bersama-sama dengan siteppang atau sompung disebut siajing rial (kerabat inti). Mereka itulah menjadi tomasiri (orang malu jika terjadi apa-apa).

Untuk urusan perkawinan, keluarga harus melakukan musyawarah.

2. Sistem Perkawinan

Tujuan perkawinan pada masyarakat Bugis sama pada masyakat Makassar. Orang Bugis mengatakan eloni ri pakkalepu maksudnya akan diutuhkan. Jadi orang yang belum kawin, katanya belum utuh. Maka perkawinan mempunyai arti yang sangat penting bukan hanya menemui hasrat seksual. Sebab perkawinan adalah salah satu cara melanjutkan keturunan dengan dasar cinta kasih untuk memperat hubungan antarkeluarga yang lain, antara suku dengan suku yang lain bahkan bangsa dengan bangsa. Maka pekawinan itu adalah sebuah kewajiban.

Perkawinan ideal pada masyarakat Bugis adalah seorang laki-laki dan wanita mendapatkan jodohnya dalam lingkungan keluarganya baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah. Sebab kawin dalam lingkungan keluarga dapat mempererat hubungan kekerabatan. Hubungan perkawinan yang paling baik dalam lingkungan keluarga ialah yang berada dalam hubungan horisontal sebagai berikut :  

  1. Siala massaposiseng ialah perkawinan antara sepupu satu kali.
  2. Siala massapoka dua ialah, kawin antara sepupu dua kali. Biasa pula terucap Assialanan memeng. Maksudnya perjodohan yang baik sangat serasi.
  3. Siala massapo katellu ialah kawin antara sepupu tiga kali kata lainnya ripasilorengngengi maksudnya mendekatkan kembali kekerabatan yang sangat jauh.

Pembatasan Jodoh

Pembatasan jodoh karena hubungan perkawinan karena batas kedudukan yang tidak sejajar misalnya antara gadis bangsawan dan orang biasa di zaman lampau memang tertutup. Tetapi masih ada kemungkinan apabila lelaki itu mempuyai keistimewaan tertentu misalnya karena keberanian dan ketangkasan.

Mereka itu bergelar towarani orang terpandang dan terhormat. Demikian pula dengan cendikiawan. Oleh sebab itu, dasar pemilihan orang Bugis selektif dan terbuka. Dan dewasa ini makin banyak perkawinan antara gadis turunan bangsawan dengan lelaki yang berstatus rakyat biasa tetapi berpendidikan tinggi. Begitu juga sebaliknya.

             Bentuk perkawinan pada masyarakat bugis pada dasarnya sama dengan suku-suku yang ada di Indonesia dengan cara peminangan laki-laki kepada perempuan. Namun ada juga yang sebaliknya yaitu:

  1. Botting passampo siri (penutup malu) adalah perkawinaan yang keluarga lakukan karena si pria kedapatan berbuat senonoh, atau karena si perempuan sudah hamil duluan.
  2. Botting Ipsiselle angkalungeng (tukar bantal) maksudnya saat si istri meninggal dan si lelaki tersebut menikahi saudara istri, ataupun sebaliknya.
  3. Botting Alquran (kawin Alquran) maksudnya orang tua si wanita hanya meminta mahar Alquran, yang artinya si pria dapat menikahi anaknya bukan dengan mahar uang tapi harus mampu menghafal Alquran 30 juz. Hal ini masih terjadi sampai sekarang.
  4. Botting mallariang (kawin membawa lari) adalah si pria membawa lari si gadis tanpa persetujuan si gadis dan orang tuanya.
  5. Botting silariang (kawin lari) si pria dan wanita sepakat kabur lalu menikah tanpa restu karena salah satu dari orang tua atau keluarga tidak menyetujui perkawinan tersebut.

Perlengkapan Pernikahan

Secara garis besar upacara perkawinan adat dalam pada masyarakat Bugis meliputi beberapa acara inti. Mulai dari acara pra perkawinan sampai kepada acara akad nikah.

Upacara pra akad nikah

1. Acara peminangan

 Pihak calon mempelai laki-laki mengirimkan utusan atau duta untuk menyampaikan lamaran kepada  keluarga/orang tua/wali pihak calon mempelai wanita. Dan jika keluarga wanita menerima pinangan tersebut maka berikutnya lanjut dengan kata sepakat yaitu: mappetuada (memutus kata).

2. Acara mappaenrek passio

Setelah acara mappetuada, tahap selanjutnya adalah keluarga calon mempelai pria mengantarkan ke calon mempelai wanita seperangkat cincin pengikat.

3. Acara malam pacar

Dalam pengistilahan orang bugis upacara malam pacar adalah mappaccing. Pada zaman dahulu upacara ini berarti menghiasi kuku pengantin dengan bahan dari daun pacar. Dan pada masa ini daun pacar tidak lagi untuk menghias kuku calon mempelai tetapi cukup dicacahkan saja pada bagian kedua telapak tangan

Masyarakat  Bugis mengenal daun pacar dengan nama pacci yang artinya bersih daan mengandung arti simbolik sebagai media untuk menangkis segala hambatan yang mungkin menganggu perjodohan kedua mempelai. Dalam pelaksanaan mappacci (mappaccing) beberapa kelengkapan harus ada yaitu :

  • Daun pacci yakni daun inai yang dilumat sampai halus.
  • Bantal sebagai penyanggah kedua telapak tangan.
  • Sarung sutera sebanyak 7 lembar (yang artinya melambangkan harga diri), sedangkan angka tujuh merupakan simbol doa dan harapan supaya usaha dan jerih-payah pasangan suami istri itu berdaya guna sebagaimana halnya arti dan makna yang terkandung dalam simbol angka tujuh. Ini sesuai dengan konsep “mattuju-tujung” (berdaya guna : berhasil guna).
  • Pucuk daun pisang adalah simbol pengharapan yang melambangkan kehidupan rumah tangga yang senantiasa tumbuh dan berkembang, sebagaimana halnya pertumbuhan daun pisang yang sambung-menyambung.
  • Daun nangka yang dalam bahasa Bugis tersebut daun panasa yang berarti cita-cita atau harapan.
  • Tai bani sejenis lilin yang dianggap berasal dari lebah yang artinya simbol terang dan simbol kerukunan.
  • Brondong ataubenno ase yang merupakan simbol upacara yang melambangkan harapan dan doa.

Perlengkapan upacara pernikahan

Acara pernikahan atau akad nikah dalam sistem kekerabatan sulawesi selatan merupakan klimaks dari seluruh rangkaian upacara perkawinan adat Bugis. Acara ini meliputi beberapa tahap kegiatan, antara lain sebagai berikut:

Tahap Menrek kawin

Tahap menrek kawin pada dasarnya adalah acara akad nikah yang berlangsung d irumah pihak pengantin wanita sehubungan dengan itu pengantin laki-laki lebih dahulu diantar dari rumah orang tua sendiri ke rumah calon istrinya untuk dinikahkan. Kegiatan inilah yang disebut menrek kawin. Sedangkan perlengkapan upacaranya adalah:

  • Sompa, yakni mas kawin atau mahar.
  • Balanca (uang belanja).
  • Perangkat peralatan bunyi-bunyian sebagai pengiring pengantin laki-laki dalam acara menrek kawin yang terdiri dari gendang, gong, sea-sea.
  • Ramuan obat-obatan tradisional dan tungku api untuk mengusir roh jahat.
  • Sulolangi sejenis obor yang terbuat dari bambu batangan yang berukuran cukup panjang.
  • Payung, sesuai dengan stratifikasi sosial pihak pengantin itu sendiri.
  • Ina-taibani dan taibani, sejenis lilin yang terbuat dari lebah.
  • Inapelleng  dan pelleng pesse ialah sejenis lilin yang terbuat dari bahan kemiri yang dilumat bersama kapas.
  • Tangngareng, sejenis barang untuk menyimpang jenis perlengkapan.
  • Pallisek kawin /pallisek sompa perankap perlengkapan yang menyertai sompa.
  • Perlengkapan pakaian pengantar pengantin, terdiri atas pakaian laki-laki dan wanita.
  • Tahap menyambut rombongan pengantin laki-laki.

Tahap penyambutan tersebut oleh pihak pengantin wanita, pada saat rombongan tersebut tiba di rumah orang tua atau keluarga pihak wanita. Dalam hal ini perlengkapan upacara terdiri atas:

  • Wennok ulaweng (berarti padi) yang digunakan untuk menabur pengantin laki-laki bersama dengan rombonganya ketika mereka tiba di ujung tangga.
  • Ulu tedong, yaitu kepala kerbau yang dibungkus kain kaci. Kepala kerbau ini dilangkahi pada saat naik ke rumah calon istri.
  • Tanah salapang, terdiri atas tanah dalam sebuah piring yang terletak di atas sebuah baki.
  • Taluttuk, sejenis kain widong untuk mengalasi anak-anak tangga dari bawah hingga ke atas rumah.
  • Uring tana, yaitu periuk tanah yang berisi telur ayam kampung yang harus terinjak oleh pengantin pria.
  • Lamming, ialah pelaminan tempat duduk pengantin.

Tahap akad nikah

            Dalam tahap akad nikah perlengkapan utama hanya terdiri atas perlengkapan mas kawin. Hanya dalam hal ini mas kawin dan uang belanja biasanya harus diperlihatkan kepada para saksi dan sanak saudara pihak pengantin wanita. Akad biasanya diwakilkan oleh orang tua pihak pengantin wanita kepada petugas sara.

Tahap Acara Tudang Botting

 Acara tudang botting ialah di mana kedua mempelai yang sudah sah sebagai suami istri itu duduk bersandingan di atas pelaminan.

Tahap Acara Perjamuan

Salah satu bagian integral dari pelaksanaan upacara perkawinan ialah upacara perjamuan. Acara ini sesuai pelaksanaan acara akad nikah. Secara garis besar bahan jamuan terdiri atas makanan ringan berupa kue tradisional serta santapan nasi bersama lauknya.

Waktu Pelaksanaan Perkawinan

Masyarakat Bugis senantiasa memilih waktu-waktu tertentu yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan. Dalam hal ini upacara perkawinan untuk tiga tujuan utama. Pertama, upacara perkawinan untuk menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan YME. Yang telah mempertemukan jodoh antara kedua mempelai, sekaligus mempersatukan mereka sebagai pasangan suami istri.

Kedua, upacara perkawinan dimaksudkan pula sebagai upaya segenap angota keluarga untuk memohonkan kepada yang Mahakuasa agar kedua mempelai diberikan keselamatan, kesehatan, rezeki  yang banyak dan umur yang panjang.

Ketiga, upacara ini merupakan usaha penolak bala. Warga masyakat terutama sanak kerabat kedua mempelai merasa yakin bahwa melalui penyelenggaraan upacara perkawinan tersebut maka bala bencana yang akan menimpa suami-istri akan tertangkal berkat Rahmat Tuhan YME.

Dalam rangka memilih dan menetapkan waktu baik untuk melaksanakan upacara perkawinan, secara prinsipil masyarakat Bugis selalu menghindarkan saat-saat tertentu yang memiliki nilai buruk atau naas. Pananrangi Hamid (1978) mengungkapkan dalam bahasa penelitiannya, antara lain sebagai berikut :

Sehubungan dengan anggapan tentang adanya waktu yang membawa berkah atau kemujuran dan waktu-waktu yang sial atau naas, masyarakat Bugis menyelenggarakan aktivitas hidupnya senantiasa memilih hari yang dipercaya mengandung berkah. Sedangkan hari naas merupakan saat atau waktu di mana mereka pantang melakukan hal-hal penting.

Relevan dengan kutipan tersebut di atas, maka sistem pengetahuan tentang hari-hari baik dan buruk masyarakat Bugis mengenal adanya mengenal pembagian waktu di dalam satu hari, di samping adanya naas bulanan dan naas tahunan.

Umur Perkawinan

Salah satu kebahagiaan apabila orang tua dapat melaksanakan perkawinan anaknya. Oleh sebab itu menjadi cita-cita dari orang tua agar dapat menyaksikan anaknya duduk di pelaminan sebelum mengakhiri hidupnya. Demikian juga harapan seorang nenek terhadap cucunya.

Mengawinkan anak adalah kewajiban orangtua, sebab seorang anak yang belum kawin belum dianggap sebagai manusia yang sempurna. Untuk mengawinkan anak, seorang anak tidaklah terikat dari umur yang tertentu bahkan anak di bawah umur sering dikawinkan.

Dewasa ini perkawinan anak-anak sangat jarang terjadi. Akan tetapi yang masih sering ialah si anak yang masih kecil oleh orang tuanya dijodohkan. Namun adakalanya kesepakatan orang tua ini tidak berakhir dengan perkawinan.

Apabila orang tua mempunyai tololo bangko dalam perasaannya ia memikul suatu beban atau tanggung jawab yang berat. Usia ideal untuk kawin dalam masyarakat suku Bugis bagi anak perempuan antara 14-16 tahun dan anak laki-laki kurang lebih 17 tahun. Dewasa ini dengan berlakunya undang-undang perkawinan maka persyaratan-persyaratan umur untuk kawin berlaku dan berbeda dengan kebiasaan.

BACA JUGA: IKAMI SULSEL BERMIMPI

Kesimpulan

  1. Masyarat suku Bugis menganut sistem kekerabatan Bilateral, yang menganut garis keturunan dari pihak Ayah dan pihak Ibu.
  2. Dulunya upacara perkawinan memakan waktu lama dan menelan biaya yang besar, sekarang kecenderungannya mempersingkat dengan tidak mengurangi nilai-nilai adat dan upacara perkawinan.
  3. Dahulunya perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan antarkeluarga sama derajat. Tapi sekarang yang dianggap ideal adalah didasarkan suka sama suka yang tentunya disetujui oleh keluarganya, khususnya orang tua atau wali kedua pasangan.
  4. Kalau tadinya yang bangsawan harus kawin dengan golongan bangsawan bahkan kalau terjadi pelanggaran bagi wanita akan dihukum ditengelamkan ke laut atau diusir, sekarang sudah berubah dari ascribeted status ke achieved status.
  5. Adanya mobiitas sosial tersebab karena pendidikan dan perantauan, sehingga banyak yang pindah tempat tinggal lalu mendapat jodoh dari suku lain sehingga mempeluas kekerabatan mereka.

Demikianlah ulasan sistem kekerabatan sulawesi selatan wabil khusus sistem pernikahan suku Bugis.

Referensi:

– Depertemen Pendidikan dan kebudayaan, Adat Dan Upacara Perkawinan Sulawesi Selatan, Jakarta, 1983.

– Depertemen  Pendidikan dan kebudayaan, Geografi Budaya Daerah  Sulawesi Selatan. Jakarta, 1977.

– Depertemen Pendidikan dan kebudayaan, Adat Istiadat Daerah Sulawesi Selatan, 1978.

– Depertemen Kehakiman, Direktorat Ketatalaksanaan Pengadilan, Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Umum. Masalah-masalah Hukum Perdata, 1975.

– Muh. Naim Haddade, Drs., Ungkapan Peribahasa dan Paseng Sastra Bugis, Latimojong, 1986.

This post was last modified on 07/06/2022 22:13

Baca Juga

This website uses cookies.