Penulis: M. Nursal
Genap 16 tahun, 2 sahabat kandung ini akhirnya dipertemukan. Tak direncanakan. Diatur oleh momentum. Dengan titik tolak yang berbeda, satu berangkat dari Skotlandia, yang lain take off dari Mesir. Titik temunya di Kota Suci Makkah Al-Mukarramah.
Mereka Ali dan Irsyad.
Ali akan mempresentasikan papernya di Arab Saudi. Dia kandidat doktor dari Universitas Eberden. Salah satu perguruan tinggi kenamaan di Benua Eropa.
Irsyad, tak kalah menterengnya. Mahasiswa jebolan Al Azhar. Sudah 15 Tahun di Mesir. Mungkin setiap lorong kota Kairo pernah dijejakinya. Dialeknya bahkan lebih native daripada “milenial” negara itu. Hari itu, kebetulan ia sedang mengawal jamaah umroh. Salah satu bisnis yang digelutinya.
20 tahun yang lalu. Keduanya adalah kaum sarungan. Di Padepokan yang sama, Darul Arqam. Pesantren kecil yang meletakkan dirinya di perbatasan kota. Makassar dan Maros. Walau kecil, zaman itu santrinya punya mimpi besar. Menjadi Pemimpin. Banter jadi kiyai. Atau sejatuhnya menjadi ustadz.
Mimpi itulah yang memandu tekad untuk survive melawan keadaan. Membuang kemanjaan. Mendisiplinkan sikap. Menghilangkan zona nyaman. Menghadapi ganasnya kelaziman pesantren.
Demikian keduanya…
Ali mematri 24 jam hidupnya dengan kebiasaan itu-itu saja. Mengaji, menghafal, membaca. Untuk melunakkan otaknya yang serius, sorenya berolahraga. Paling sering bermain bola sepak. Posisinya striker, tapi tidak full skill. Hanya diuntungkan oleh tubuh yang kekar. Yah, kira-kira seperti Ali Dai. Striker Bayer Munchen itu. Tinggi-besar namun payah dalam meliuk.
Begitu seterusnya. Selama 6 tahun.
Irsyad, lebih santai. Aktifitasnya tak sepenat Ali. Semuanya proporsional. Menghapal Mufrodat (kosa kata arab) dilakoninya hanya untuk menghindari cubitan senior di forum eksaminasi bahasa, ba’da Maghrib. Forum yang paling ditakuti para santri.
Bagaimana tidak, senior bebas menanyakan ‘kata’ apapun pada santri. Suatu ketika senior pernah bertanya: Ma billugatil arabiyyah (apa bahasa arabnya) “Jatuh Tassossoro”? Jangankan bahasa arab, dalam bahasa indonesiapun sulit ditemukan padanannya. Satu angkatan tak ada yang tahu. Tak pelak semua dapat hukuman senior.
Jika sedang sial, puting susu langsung jadi landasan. Dicubit. Jari senior memutar 90 derajat. Durasi perihnya lama. Mungkin sekitar 3 jam.
Jika beruntung, betis jadi sasaran empuk. Kayu pagar jadi pelakunya. Suara dentumannya teredam kalau bertemu dengan betis yang montok. Dari segi durasi, perihnya lebih cepat dibanding dengan cubitan. Mungkin se-jam-an.
Dalam hal mengolah raga, Irsyad mengasah kakinya tidak hanya di bola sepak, tapi juga sepak takraw. Di bola, dia menasbihkan dirinya sendiri titisan David Beckham, Pemain Manchester Merah itu, yang gelandang itu. Sebenarnya, bukan pada skill. Dia lebih mencitrakan diri berwajah Beckham.
Walau memang bila sedang berkostum nomor 7 Manchester Merah, kadang umpannya sangat memanjakan. Apalagi kalau strikernya adalah Ali yang posturnya tinggi. Tak jarang membuahkan hasil. Bukan karena skill, tapi pemain belakang lawan yang sejak awal kalah postur.
Aktifitas dan style 2 sahabat ini mungkin berbeda, namun akses infrastruktur pondok tetaplah sama.
Makan tetap di dapur umum yang menunya sangat minimalis. Paling rutin; nasi tambah ikan teri yang dikecapi. Orang makassar menyebutnya ikan Mairo. Menu legendaris masa itu. Penampakannya mirip paku, sampai-sampai namanya diabadikan dengan istilah menu “Paku berkarat”.
Menu lainnya, telur rebus setengah, plus sayur kangkung yang melimpah kuahnya. Mungkin 1 banding 1. Satu sendok sayur kangkung, kuahnya satu mangkok. Menu spesialnya ayam goreng, itu pun program triwulan. Singkat kata, panganan santri jauh dari 4 sehat 5 sempurna.
Karena itulah, santri Darul Arqam tidak memercayai teori menjadi sukses harus makan 4 sehat 5 sempurna. Maklum, bermodalkan asupan “paku berkarat” selama bertahun-tahun, toh para alumninya tetap mencatatkan diri dengan tinta prestasi.
Selain makanan yang sama, keduanya (Ali dan Irsyad) juga berwajah menarik. Pujaan para akhwat. Walau asrama putra dan akhwat dipisah dengan tembok kokoh. Namun kabar ketampanan mereka melintasi pembatas itu.
Bedanya, Ali terlihat keren karena wibawa, sedang Irsyad ganteng di anatomi tubuh. Kulit putih, rambut lurus yang dibelah titik tengah hingga simetris antara kiri dan kanan.
Rupa yang excited tak menjadikan keduanya memiliki selera akhwat yang sama. Infotainment tak pernah menangkap berita selisih paham tentang tambatan hati. Yang ada, pihak lain tersakiti karena akhwat idamannya telah menaruh minat pada salah satu dari keduanya.
Irsyad malah membentengi dirinya dengan menebar issu. Telah jadi milik akhwat tertentu. Ali? Nihil. Tak pernah menyimpan hati pada siapa pun. Walau kadang geriknya terdeteksi bahwa dia juga pemuja wanita cantik. Tapi selalu tanpa deklarasi.
Padunya persahabatan semakin lekat, kala keduanya menjadi pemegang kekuasaan (senior pengurus; red). Ali menampuk ketua IRM (Osis), sedang Irsyad Sekretaris. Jabatan itulah yang memberi wewenang keduanya memangku “rumah dinas”. Tempat yang hanya dihuni 3 orang; Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris. Itu Privelege. Karena santri harus “berasrama”. Penuh sesak dalam gempulan napas yang beragam.
Keduanya santri yang paripurna. Full time mendaras syariah. 6 tahun lamanya. Mungkin itu pula yang jadi perekat kuatnya persahabatan: Waktu!
Waktu jualah yang menjadi jurang temu. Setelah khatam di pondok, keduanya berpisah raga.
Irsyad terciduk ke mesir. Mengadu nyali Di Universitas Al Azhar. Kampus tertua kedua di dunia. Berdiri di zaman dinasti Fatimiyah, yang dulunya hanya masjid.
Modal nekadnya stok kosa kata arab yang defisit. Efek prinsip proporsional dalam belajar saat di pondok. Namun ketekunan dan jerih payahnya berbuah gelar Lc. Gelar yang didamba para santri se-antero Indonesia. Di tanah Fir’aun itu pula dia menemukan tulang rusuknya. Seorang Hafizah, muslimah, dara kota Soppeng yang sedang memburu gelar masternya.
Ali? Perginya tanpa pamit. Hilang tanpa kata pisah pada teman-temannya yang lain. Tak ada kabar kemana dia berlayar melabuhkan citanya. Serak-serak kabarnya terdengar. Dia kini dosen di UIN Syarif Hidayatullah. Calon kandidat doktor (Phd) Universitas “antik” Aberdeen Skotlandia.
Perguruan yang didirikan pada 1495 ketika William Elphinstone, Uskup Aberdeen dan Kanselir Skotlandia, mengajukan petisi kepada Raja Skotlandia James IV, Paus Alexander VI; Untuk mendirikan King’s College. Kampus itu kini terbaik di daratan Inggris.
Tak ada yang menyangka, Ali anak kampung dari kota kecil Bululumba, kini melawan gigil dinginnya udara Eropa. Menatap keramaian teknologi dan kemajuan peradaban Skotlandia. Untuk Menyempurnakan mimpinya.
Padahal rumahnya, mengasingkan diri di pedalaman Butta Panrita Lopi. Dulu (mungkin sampai sekarang), berkunjung ke sana harus menyesuaikan dengan jadwal angkot atau hari pasar.
Pun demikian dengan Irsyad, yang kampungnya sengaja menepi dari pusat keramaian kota Pinrang. Kini telah menyesuaikan diri dengan derasnya sungai Nil, Mesir. Negeri Nabi Musa. Juga telah menegakkan impiannya. Menulis namanya di Al Azhar, kampus para Ulama. Sebagai alumni.
Kini, 16 tahun setelahnya. Keduanya bertemu, di Kota penuh berkah, Makkah Al-Mukarramah. Dengan suasana yang baik, Umroh. Mungkin juga di saksikan Para Malaikat yang sedang bertasbih.
Ditempa di kawah candradimuka yang sama, dibentuk dengan asupan gizi yang sama, disiksa dengan lara yang sama, dipoles oleh waktu yang sama. Walau bukan dari ibu yang sama, keduanya lahir dari rahim persahabatan yang sama, SAHABAT KANDUNG.