Penguasaan Pramoedya Ananta Toer Terhadap Ajaran Islam: Ulasan Novel Arus Balik

KEKUASAAN

Untuk mencapai kepada sebuah karya sastra yang agung, sudah barang tentu harus menguasai tata Bahasa yang baik dan benar. Komunikatif, indah, puitis, dan bergaya. Bahasa dalam novel “Arus Balik” karya Pramoedya Ananta Toer, teknik bertuturnya berjalan sangat lancar beriringan dengan mengalirnya cerita. Mudah untuk dicerna meskipun kadang menggunakan permajasan yang variatif.  Penggunaan kata dan kalimat tidak ada yang rumit-rumit. Hanya terkadang ungkapan-ungkapan lama yang jarang digunakan di zaman sekarang sedikit menyulitkan kita untuk mengerti. Maka lalu segera mencari sinonimnya. Walau begitu Pramoedya sendiri tidak pernah secara formil mendapat pendidikan Bahasa Melayu (sekarang Indonesia). Pramoedya adalah autodidak sastra dalam arti sepenuhnya. Tidak penah menjadi murid. Ia tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada siapapun. (A. Teeuw. Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. 1997. Bab XII. Menahan Arus Balik hal. 355.)

Dalam karya Arus Balik, Pramoedya menggunakan bentuk autorial dalam penceritaannya. Ini adalah gaya dengan pencerita sama sekali berada di luar ceritanya. Seperti instansi serba tahu yang tidak hanya memberitahukan kepada pembaca segala peristiwa dan tokoh yang terlibat, melainkan juga percakapan, bahkan pikiran dan emosi mereka. Namun bentuk autorial ini ditinjau dari berbagai sudut pandang para tokoh. Mulai dari Galeng, Idayu, Pada, Adipati Tuban Arya Tumenggung Wlwatikta, Rodigues dan Esteban, Sunan Rajeg alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit, Adipati Unus, Mahmud Barjah, Fransisco de Sylvester da Costa, sampai Sayid Habibullah Almasawa.

Perbedaan perspektif ini pula lah yang memperkaya tulisan Pramoedya. Sehingga aku sebagai pembaca sering terombang-ambing dalam riuhnya identifikasi pada tokoh utama. Terkadang aku beridentifkasi pada Galeng, kadang pula pada Pada, pada sunan Rajeg, kadang pula pada Tholib Sungkar As-Zubaid.

Emosi pembaca di sini dipermainkan seenak-enaknya pemainan oleh Pramoedya. Aku kadang jengkel juga karena harus berpihak pada semua tokoh dan tak tahu sebenarnya harus berpihak kepada siapa. Tetapi ini pulalah yang membuat Arus Balik mengarah ke obyektifitas sejarah. Membuat Arus Balik terbalik balik dari satu subyektifitas ke subyektifitas yang lain. Dengan banyaknya sudut pandang makan akan semakin mendekati kepada kebenaran. Hanya sayangnya belum ada sudut padang dari bangsa kerajaan lain di luar pulau Jawa seperti Aceh, Bugis, Malaka, Mamuluk atau jazirah Al-Mulk atau Maluku, dan lainnya. Dan aku pikir hal ini pulalah yang merupakan sisi kelemahan seorang Pramoedya. Ia kurang mendalami, mempelajari sejarah bangsa lain di luar pulau Jawa. Contoh besarnya ialah mengapa pulau sumatera tidak ditulis pulau Andalas? Kalimantan dengan Borneo, dan Sulawesi dengan Celebes? Begitu juga dengan nama tokoh di luar pulau Jawa, sama sekali tak satupun ditulisnya. Bahkan penulisan tokoh amana Gappa pun salah yang seharusnya Ammana Gappa. Atau barangkali ada kesalahan dari pihak editor-penerbit. Entahlah aku tidak tahu.

“Mustinya tahu dong,” ledek temanku.

Hal yang dikuasai Pramoedya sekaligus yang paling memikatku adalah rangkaian kata di setiap percakapan antartokoh. Percakapan ini mendominasi Arus Balik. Aku kira sekitar 70-80 persen dikuasai oleh dialog. Aku ajak kalian melihat kembali bagaimana Pramoedya menulis dialog.

“Ampun, Gusti Adipati. Pasukan gajah selamanya jantung hati Tuban dan Gusti Adipati. (…) pasukan gajah mendegupkan darah pertahanan Tuban. Gajah-gajah yang lincah dan berat, tanpa dipotong gadingnya, gajah tantara sejati, adalah bukit-bukit otot di tangan tantara yang ulung punahlah musuh Tuban tertindas oleh kakinya, terburai terbanting oleh belalai, dan ludas tertikam gadingnya…” (hal. 322)

Atau kalimat yang diucapkan oleh Rama Cluring.

“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum pernah terbit, dan sekarang sedang tenggelam. (…) hutan dan alang-alang masih berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya Huma, gadis….” (hal. 3)

Lihatlah kalimat-kalimat yang puitis, dan penuh dengan perumpamaan-perumpamaan. Akan sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan dialog percakapan dalam “Tusuk Sanggul Pundak Wangi” karya Pandir Kelana yang menceritakan asal usul berdirinya kerajaan Majapahit. Keduanya sama-sama fiksi sejarah. Namun berbeda keindahannya bila digarap oeh seorang Mpu sastra seperti Pramoedya Ananta Toer.

Selain itu harus diakui pula bahwa Pramoedya sangat menguasai agama Islam dalam artian mengerti betul budaya masyarakat muslim di Nusantara pada waktu itu. lengkap dengan atribut, istilah-istilah Arab maupun ajaran agama Islam itu sendiri.

Aku sendiri tidak mengetahui agama apa yang dianut oleh Pramoedya. Kok bisa dia banyak mengetahui perihal agama Islam? Yang kuketahui Pramoedya lahir dari keluarga muslim. Ayahnya seorang muslim bernama Mastoer yang selanjutnya disingkat Toer. Biasanya dipanggil Pak Toer.

Aku akan merinci apa saja yang dikuasai Pramoedya akan Bahasa Arah yang ditulisnya dalam Arus Balik. Kahwa = kopi, Zhagung = jagung, salasa = tiga, khalifah = pemimpin, hajad = keperluan, kalam = alat tulis, dan sekian banyak lagi istilah Arab yang digunakan Pramoedya. Banyak pula yang telah mengIndonesia sehingga tidak terlalu sulit di mengerti pembaca.

Yang paling detil dideskripsikannya ajaran agama Islam ada pada bab 8 berjudul Wiranggaleng Pergi Ke Barat. Di salah satu daerah kekuasaan Demak saat dimulainya pembuatan kapal-kapal perang dalam rangka penyerbuatn Peranggi di Malaka. Saat istirahat tiba, Wiranggaleng turut mendenga orang-orang berdiskusi perihal agama Islam. yang paling berperan di sini ialah Hayatullah yang berarti jiwa Allah. Ia banyak menjelaskan apa itu agama Islam. bagaimana bentuk penyebarannya, apa saja kandungan ajarannya, sedikit sejarah Islam, siapa saja tokoh-tokoh Islam di nusantara, dan sebagainya. Dari percakapan-percakapan ini Pramoedya menginformasikan kepada pembaca perihal agama Islam.

Juga saat Galeng berpura-pura masuk Islam di sebuah pesantren hanya untuk mengetahui isi surat sebenarnya.

Informasi mengenai Islam dilanjutkan lagi lewat wejangan-wejangan Sunan Rajeg kepada anak buahnya. Belum lagi Tholib Sungkar Az-Zubaid yang sering menghiasi mulutnya dengan asma Allah dan aturan-aturan agama Islam lainnya.

Pramoedya kurang lebih cukup menguasai Islam sehingga dalam karyanya Arus Balik setebal 750 halaman ini segala pengungkapan, penuturan, peristiwa menyangkut Islam cukup logis.

Klender, 16 Februari 1999.

Firman Syah

96fi4544

Ditulis sebagai tugas mata kuliah Penulisan Kreatif I dengan dosen Seno Gumira Ajidarma.

Fakultas Film dan Televisi

Institut Kesenian Jakarta

Mungkin Anda Menyukai