kulihat matamu itu kekasih, yang tersedu-sedu ayu, /sendu
seperti lilin kehilangan sumbu
atau jeritan dari kamar gelap ruang bawah tanah / berkata-kata dungu
kulihat juga bodymu itu kekasih, kerempeng
terbalut kain tipis dan ketat menutup sampai pegelangan tangan,
sampai sebatas pusar.
nyaris, nyaris setebal tripleks.
mulutmu itu kekasih, kering menari-nari
layu terhimpit beban berlapis-lapis,
bernyanyi tak niat
tembang yang mengiris jantungku
hingga ku sesak napas
dengan kata-kata tanpa harmoni
“siapakah diriku? seperti api yang melolong./ katakan cinta./ aku cemburu / duakan saja cintaku dengan rangsangan birahi. melepas anarkinya kasih, yang hadir bagai ideologi. /aku ingin mampus saja. /bunuh diriku. tikam perutku. /is dead. tapi aku tidak mati-mati juga. kalau beitu kubunuh saja dirimu. kau tak mati. /belum ajalmu./ oh cinta. /dimanakah kau berada?”
“aku bosan hidup. cinta tulus suci dan murni. kembalikan padaku. cinta-cinta.”
stop-stop, please. stop please
TIDAK
“aku tak butuh sekolah, aku tak mau pergi sekolah. nanti kepalau benjol, tawuran, tawuran, wurx+!ebn^5%(#]3jW*3nm@-an. aku benci guru. aku benci orangtua. aku benci anak sekolah. aku benci. oh cinta…”
aduh kekasih. ada apa kau ini. baru sekarang aku lihat kau begini.
barangkali belum minum obat. minum obat yah?
oh iya suntik. kasihan kau. mungkin kau kurang vitamin C.
kekasih,
kulihat rambutmu, terobrak-abrik seperti mayat-mayat di medan perang.
rambutmu yang lurus hitam kemerah-merahan,
oh, agak kekuning-kuningan, ada birunya juga loh,
ungunya juga ada, juga ada rambutmu yang ikal, sedikit digimbal di bagian belakang, seperti tanduk kambing di tengah, ada juga yang dikonde. komplitlah rambutmu.
dipermak di bengkel mana?
kekasih, pusarmu yang kadang terlihat, kadang juga tidak tergantung gerak badanmu, tergantung ingin kau pamerkan atau tidak, seperti hanyutkanku ke lubang dalam perut bumi, berputar seperti pusaran hipnotis, melenakan mataku.
katamu: “bagus khan? indah kan?”
tapi aku tak enak melihatnya. nanti kau marah
“iya aku memang marah”
jadi untuk apa kau tongol-tongolkan?
kekasih, kasihan kau.
Ada kekasihku yang lain.
yang rajin pergi mengaji
ujung kudungnya berawai-awai serupa memanggil
palingkan pandangku dari wajahnya
(hingga kini aku tak tahu rupanya sedetil apa)
Ajak kau pergi mengaji
kau ogah dan berkata:
mengaji? apa mengaji?
Ustad, Apakah?
aku tak takut berdosa
aku tak mau diceramahi
dosa, PD aja lagi
neraka, siapa takut
katamu meniru-niru televisi.
kasihan kau kekasih.
kesian de elo.
kekasihku yang lain lagi kekasih,
kulihat senyumnya
selalu mengembang setiap kali jumpa manusia,
yang dikenalnya atau tidak.
mulutnya seperti bulan sabit bersimpul-simpul
bukan bersiul
seayu bintang ngedip-ngedip
itu adalah sedekahnya.
“oh Tuhan dosaku mengunung tinggi. hanya kepadamu aku ingin bermunajat. aku jauh, Engkau jauh. aku mengharap ridho-Mu. ampunilah dosaku. berazzam aku kembali.”
kekasih, aku seperti ingin pingsan saja.
aku menggigil dengar nyanyian kekasihku.
aku takut / aku takut berdosa
aku tidak mau masuk neraka
bagaimana kalau aku mati.
sekarang aku mati / sekarang ini
aku ngeri dibakar
Ditulis oleh Firman Syah
tanggal 21 Mei 2003
Pernah dibacakan di kampus STIE & STMIK Jayakarta