Ke Cirebon biasanya orang berziarah ke makam Sunang Gunung jati. Tapi akhir-akhir ini di Cirebon, untuk sementara muncul obyek ziarah baru: Imam Tantowi dan Chaerul Umam. Dua nama ini bukanlah nama wali yang jadi obyek ziarah terbaru. Mereka adalah nama sutradara film pemenang hadiah Citra. Umam dan Tantowi berada di Cirebon sejak beberapa bulan terakhir menggarap film “Fatahillah” yang dengan biaya besar, diproduksi pemerintah ibu kota Jakarta.
“Fatahillah” adalah film tentang ulama dan pahlawan perang yang mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan mendirikan kota Jayakarta yang kini dikenal sebagai Jakarta. Karena berhubungan dengan sejarah Jakarta itulah maka tentu Gubernur Jakarta, Suryadi Soedirdja, bersedia mengucurkan dana hampir tiga milyar rupiah membiayai film kolosal tersebut. Gubernur Suryadi sadar dirinya dan jajarannya di kantor Gubernur bukanlah orang yang tahu seluk beluk perfilman. Dipilih dan dimanfaatkanlah pengetahuan, pengalaman, dan jaringan kerja H.M. Johan Tjasmadi, pimpinan Gabungan Pemilik Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) yang juga ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Tjasmadi dipercaya Gubernur menduduki posisi produser film kolosal tersebut.
Para “peziarah” yang datang menengok kerja Imam Tantowi dan Chaerul Umam terdiri dari macam-macam orang. Dari anggota kabinet, kyai, pengurus mesjid, wartawan, turis lokal, sampai para pedagang film. Masing-masing tentu dengan minat dan harapan yang berbeda-beda.
Para pejabat pemerintah berharap film kolosal ini bisa mengangkat citra film nasional yang terpuruk untuk ke sekian kalinya sejak tahun 1991; para kyai dan pengurus masjid berharap film ini bisa jadi media yang meningkatkan syiar Islam, para wartawan berharap film ini bisa bermutu agar ada film Indonesia yang dapat diulas di media masing-masing; sementara para pedagang film berharap film ini bisa menjadi lokomotif yang sanggup menarik perfilman Indonesia dari jurang keterbelakangannya secara kualitatif, kuantitaf, maupun komersial. Walhasil para penziarah film ke Cirebon berharap banyak dari ‘wali’ Chaerul Umam dan Imam Tantowi.
Melihat persiapan, cara kerja, besarnya dana yang tersedia, serta hasil kerja masa lalu Chaerul Umam dan Imam Tantowi, rasanya kita tidak perlu mecemaskan mutu film itu nanti. Yang nampaknya justru harus dibicarakan, bisakah film “Fatahillah” bisa menjadi juru selamat film Indonesia? Untuk itu marilah kita letakkan masalah film dan perfilman Indoneia dalam perspektif sejarahnya.
Setelah terpuruk di masa Orde Lama oleh himpitan politik yang merangsek ke mana-mana dan beban inflasi yang tak terpikulkan, pada awal Orde Baru, film nasional – dengan bantuan pemerintah mulai bangkit kembali. Mula-mula sambutan publik sangat antusias. Selain karena film Indonesia tampil untuk pertama kalinya dengan warna-warni (diproses di Tokyo dan Hongkong), juga kisahnya tidak asal jadi. Ini adalah zaman ketika masyarakat disuguhi film-film Pengantin Remaja, Nyai Ronggeng, Mat Dower, Big Village, Bernafas Dalam Lumpur, Bunga-Bunga Bergururan dan beberapa lagi lainnya.
Karena menapat sambutan publik, tentu saja film film ini menghasilkan banyak uang. Melihat uang banyak inilah maka dunia film secepatnya diserbu macam-macam manusia -dari berbagai profesi- yang mencoba mengadu untung. Hasilnya adalah film-film buruk yang berangsur menghilangkan kepercayaan penonton kepada film nasional.
Dalam masa Orde Baru ini paling sedikit tiga Menteri Penerangan (pejabat yang menaungi kegiatan perfilman) berusaha mendorong perfilman nasional lewat berbagai kebijakan dan proteksi. Tidak cukup dengan itu, pada suatu hari di tahun tujuh puluhan dilibatkan pula Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kemudian ternyata semua kebaikan hati pemerintah ini ternyata tidak menolong perfilman nasional. Mengapa?
Saya kira ada dua soal yang menyebabkan nasib film dan perilman Indonesia masih belum beruntung. Pertama, sasaran bantuan itu kurang pada titik strategis; Kedua, dunia film Indonesia tidak mempunyai dinamika mempertahankan altitude yang dicapainya setelah mendapat bantuan pemerintah.
Strategi bantuan pemerintah selama ini ditujukan terutama pada pembuatan dan peningkatan jumlah film. Padahal sasaran tersebut sebenarnya adalah bagian ekor dari masalah perfilman di Indonesia. Persoalan paling serius yang dihadapi perfilman Indonesia adalah -secara berurutan- masalah langkanya sumber daya manusia (SDM), tidak tersedianya modal dan peralatan yang up to date, dan (akibatnya) apresiasi masyarakat yang umumnya masih rendah.
Akibat tidak tersedianya SDM maka lahirlah banyak film asal jadi yang tentu saja bermutu buruk. Film-film seperti inilah yang mendorong penonton menjauhi film Indonesia. Film-film bermutu rendah seperti ini berperan merusak kepercayaan penonton terhadap film-film Indonesia. Akibatnya, meski ada satu dua film bermutu baik – memenangkan Citra pada FFI, misalnya, akhirnya juga tidak mendapat penonton.
Karena modal tidak tersedia, maka para pedangang yang tidak tahu watak bisnis film dan cuma ingin cepat meraup keuntungan, berlomba merubung kesibukan membuat film. Produser dan pemilik modal seperti inilah yang tidak punya halangan memanfaatkan SDM yang bermutu rendah, antara lain karena bayarannya juga murah. Keadaan ini diperburuk oleh kurangnya peralatan yang up to date, ketika dunia film internasional sudah beranjak begitu canggih. Hasilnya adalah flm-film Indonesia yang berselera rendah dengan teknik yang amat ketinggalan zaman.
Apresiasi masyarakat terhadap film memang belum pernah mendapat perhatian serius di negeri ini. Di sekolah kita dahulu, dan di sekolah anak-anak kita sekarang, ada pelajaran menari, menggambar, menyanyi, main drama, dan membaca puisi. Sementara seni yang sangat dekat dengan kita dan besar pengaruhnya kepada pertumbuhan anak-anak, yakni film atau citra bergerak, sama sekali tidak mendapat perhatian. Sejarah sastra Indonesia diajarkan, puisi Chairil Anwar dihafalkan, sandiwara Arifin C. Noer dimainkan, tapi nama Usmar Ismail, dan sejarah kebangkitan film Indonesia di tahun 1950 nyaris tidak digubris. Maka tidaklah mengherankan kalau kita pada masa kecil suka nonton film Indonesia, tapi begitu kita beranjak dewasa, ketika makin terdidik, kita beramai-ramai beralih menjadi penonton film Amerika.
Mengapa demikian? Ya, karena kita makin pintar dan selera kita beranjak membaik, sementara film-film Indonesia tetap berkubang di situ-situ saja. Kalau ada beberapa film Indonesia yang bagus dari puluhan yang buruk, kita sudah terlanjur kehilangan kepercayaan, karena memang kita tidak pernah diajak mengapresiasi film-film kita.
Inilah penjelasan mengapa akhirnya film-film Indonesia hanya menjadi tontonan masyarakat kelas bawah. Mengingat daya beli klas bawah yang rendah, maka lama kelamaan indsutri film akhirnya bertahan dan berkutat sebagai industri rumah pinggiran yang magnitudenya makin kecil. Karena itu, kemampuannya meningkatkan mutu dan teknik juga makin menciut saja.
Dengan produksi sejumlah 37 film pada tahun 1996 dibanding dengan produksi sebesar 112 judul film pada tahun 1991, dan dengan mutu yang jauh merosot, apakah film Indonesia berangsur mati? Tergantung bagaimana melihatnya saja. Pada saat yang sama perhatikan peningkatan luar biasa jumlah sinetron (sinema elektronik) cerita yang diproduksi dan dikonsumsi jaringan jaringan televisi di Indonesa enam tahun terakhir ini.
Pada tahun 1991 diproduksi hanya 233 judul, dan terus meningkat hingga mencapai 321 judul sinetron pada tahun berikutnya. Kalau diketahui bahwa yang membuat sinetron itu adalah orang-orang yang dulu membuat film-film Indonesia (ini juga penjelasan rendahnya mutu sinetron kita), maka tidak terlalu salah menyimpulkan, film Indonesia –untuk tayangan televisi dan dikonsumsi bioskop, tetap hidup berkembang dengan kebiasaan lama.
Media layar televisi ini memanjakan pembuat dan produser tontonan citra bergerak tersebut. Ketika menggunakan media gedung bioskop, penonton harus aktif datang dan mengeluarkan biaya. Karena itu mereka memilih-milih tontonan. Lewat televisi penonton cukup duduk pasif di ruang tamu masing masing nonton gratis, juga bebas dari kesibukan antre dan membayar biaya transportasi ke dan dari gedung bioskop. Mereka semua “ditraktir” pemasang iklan. Akibatnya mereka tidak merasa perlu menuntut mutu tinggi dan perbaikan teknik tontonan. Maka ancaman satu-satunya bagi sinetron Indonesia adalah pasar bebas serta pelipatgandaan saluran televisi lewat satelit yang akan banyak menyuguhkan tontonan manca negara yang berkualitas dan berteknik tinggi.
Sekian tahun setelah rumah tangga kita dibanjiri sinetron lewat sejumlah saluran televisi domestik, kerinduan menonton film yang lebih berbobot dalam ruang gelap, sejuk tanpa gangguan tamu, telepon atau ketukan pintu secara mendadak, kini muncul kembali. Sejarah pertelevisian di Amerika Serikat dan Jepang telah membuktikan betapa televisi tidak pernah berhasil menghabisi riwayat dan peranan gedung bioskop.
Tapi sejarah film Amerika menunjukkan juga betapa survival film dicapai lewat sejumlah usaha penciptaan hal-hal yang sulit ditandingi televisi. Dalam proses inilah munculnya nama-nama Steven Spielberg, George Lucas, Francisco Ford Coppola, dan sejumlah sineas muda – umumnya lulusan sekolah film di California, yang merupakan SDM yang tak kunjung habis dalam terus memompakan ruh baru kepada Hollywood.
Sebagai salah seorang juri Festival Sinetron Indonesia (FSI) tahun silam, saya bisa mengerti dan merasakan kerinduan banyak orang menyaksikan film-film Indonesia yang tidak mungkin ditemukan dalam sebagian besar sinetron kita yang kisahnya juga pada umumnya hanya hasil jiplakan dari film-film Indonesia? Dalam menjawab pertanyaan ini haruslah disadari bahwa film Indonesia yang kita kenal sebagai tontonan kelas bawah sebenarnya tidaklah memerlukan kebangkitan. Mereka, para pembuat film itu semua kini sedang berjaya mendominasi seluruh saluran televisi kita yang berkembang subur. Maka jika kita berbicara tentang kebangkitan film Indonesia, yang harus kita bicarakan adalah film-film yang dibuat dengan serius oleh SDM muda dan terdidik, produser (pemilik modal) yang berselera baik dan bermodal cukup. Sayangnya, hingga saat ini saya belum melihat tanda-tanda yang menggembirakan ke arah ini. Mudah-mudahan saya keliru, tapi saya melihat “Fatahillah” masih akan berjalan sendiri, lama sebelum mendapatkan pengiring.
1996
Penulis Salim Haji Said
Dari buku “Krisis Aktor, Teater Sutradara, dan Pasar,” penerbit Balai Pustaka.
This post was last modified on 02/11/2020 01:10