Emang Cerita Pendek Seperti Ketika Mas Gagah Pergi (Novel) Bisa Difilmkan?

Saat diminta untuk menulis tentang kesaksian atau efek setelah membaca Novel “Ketika Mas Gagah Pergi” karya Helvy Tiana Rosa ini, saya dengan mimik serius ingin segera menulis bahwa saya sangat terinspirasi dengan kisah ini lalu memutuskan untuk menggunakan jilbab. Lho, koq? Saya kan cowok? Hehehe. Pastinya bercanda. Karena umumnya cewek-cewek setelah membaca cerpen atau novellet Ketika Mas Gagah Pergi ini banyak yang ingin memakai jilbab. Kalau saya sih tidak mungkin, masak eiyke jadi hijaber cyiiin….?

SAYA DAN CERITA PENDEK

Pergaulan saya dengan cerpen dimulai saat saya masih SD di kota Sorong, Irian Jaya. Cerpen-cerpen di majalah Bobo dan koran-koran bekas saya lahap sampai habis. Sebab di daerah yang jauh dari pulau Jawa itu sangat sedikit bahan bacaan selain buku pelajaran. Beruntung saya memiliki sahabat SD yang juga bisa dibilang kutu majalah. Kami sering bertukar majalah, bahkan membuat lapak rental majalah. Karena manajemennya amburadul, maklumlah anak SD, maka sedikit demi sedikit majalah-majalah yang disewa banyak orang tersebut tak pernah kembali lagi. Hiks. Tinggal lah kami bertiga menatap lapak kami yang mulai kosong. Meski begitu, ada sedikit uang hasil sewa majalah yang kami gunakan untuk makan-makan di seremonial perpisahan kami bertiga setelah penamatan sekolah dasar. Lalu saya melanjutkan sekolah di Pesantren Muhammadiyah “Darul Arqam” Gombara Makassar, sementara mereka berdua tetap melanjutkan sekolah di Sorong.

Pesantren Gombara

Kegemaran membaca cerpen berlanjut di masa-masa remaja. Meski sudah berstatus anak remaja, saya sesekali masih membaca majalah Bobo. Sesekali saja tapi ya… Selain itu saya menikmati juga cerpen-cerpen di majalah Anita Cemerlang. Bahkan di pesantren, kami sempat membuat majalah bertajuk TEROWONGAN dengan bentuk mirip majalah cerpen tersebut: kertas hvs dilipat vertikal. Walaupun isinya sama sekali tidak mirip. Hanya saya yang menulis cerpen. Sisanya lebih banyak tulisan kritikan terhadap pengelola pesantren. Terbitnya pun hanya 2 kali karena terlanjur dibredel. Nasib, nasib.

Saat mengelola koran dinding Ketik. Dari kiri: Munawwar Khalil, Kasri Arif, Ust. Hasan F, M. Adnan Firdaus, Firman Immank Syah.

Setelah banyak membaca cerpen, saya meningkatkan diri dengan membaca bacaan yang lebih tebal lagi: novel. Waktu itu referensi masih sangat terbatas jadi yang saya nikmati ya semacam novel Mira W dan Wiro Sableng. Sesekali saya membaca juga yang berbobot seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, dan novel karya Marah Rusli. Beranjak ke tingkat SMA, saya makin mengerti memilih karya sastra yang bermutu. Mulai lah saya membaca cerpen-cerpen Putu Wijaya di BLOK, Seno Gumira Ajidarma, Kuntowijoyo, dan Mohammad Diponegoro.

Waktu kuliah di Jakarta, yaitu di sebuah kampus kesenian yang letaknya di jalan Cikini, (sok menyembunyikan nama kampus) saya semakin giat membaca beragam cerpen karena memang pilihannya lebih banyak dan tentunya semakin bermutu. Ada majalah Horison berikut sampirannya Kaki Langit, Koran hari Minggu, dan buku-buku kumpulan cerpen. Saya jadi makin mengenal penulis-penulis cerpen paling top se-Indonesia. Mulai dari Danarto, A.A. Navis, Hamsad Rangkuti, Misbach Yusa Biran, Muhammad Ali, Achadiat K. Mihardja, Trisno Sumardjo, Umar Kayam, SN. Ratmana, Mochtar Lubis, hingga Sutardji Calzoum Bachri. Meski saya kuliah di jurusan Film, tidak membuat saya menghentikan kebiasaan membaca karya sastra. Wiro Sableng sudah tidak saya baca lagi, meski saya pernah silaturrahim dengan penulisnya, Bastian Tito di rumahnya.

Aktivis Mimazah

Di tahun 1999 saya aktif di Mimazah yaitu sebuah organisasi intrakampus Institut Kesenian Jakarta yang tempat nongkrongnya di Masjid Amir Hamzah, TIM (Taman Ismail Marzuki). Saya mulai gabung juga dengan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim) dan ikut mendirikan KAMMI komisariat Mabani (Matraman Salemba Cikini). Saya sadari bahwa sejak masa kuliah saya kurang mendalami Islam. Mungkin karena merasa cukup belajar Islam selam enam tahun di pesantren. Saya menenggelamkan diri dalam dunia keilmuan film dan seni. Hari-hari dihabiskan dengan menonton film. Entah di bioskop, lewat player VHS, Laser Disc, atau menonton saat pemutaran film di pusat kebudayaan negara lain, dan pastinya televisi. Malam-malam juga habis dengan menyaksikan pertunjukan teater, tari, musik, puisi, cerpen, maupun wayang.

Namun mungkin karena ada bekal selama enam tahun di pesantren, maka tautan hati pada nuansa keIslaman tetap melekat dan membawa saya kembali aktif dalam lingkaran komunitas Islami. Aktif di Mimazah, KAMMI, juga di Teater Kanvas membuat saya merasa kembali ke kehidupan pesantren. Apalagi saya diajak ikut produksi sinetron bersama sutradara yang terkenal dengan film Islami: Chaerul Umam.  Saya merasa benar-benar utuh masuk ke dalam lingkaran manusia pengamal Islam. Tapi kayaknya belum juga sih… Rasa-rasanya masih ada yang kurang.

“Loe udah baca cerpen Ketika Mas Gagah pergi belum?”

“Karya siapa?

“Helvy Tiana Rosa.”

“Siapa tuh?”

Karya Sastra Islami Kontemporer

Saya mencoba mengingat-ingat buku kumpulan cerpen yang pernah saya baca. Kayaknya saya belum pernah tuh membaca nama itu. Saya juga mencoba mengingat koran hari Minggu yang telah saya baca. Nggak ada yang teringat juga. Begitu juga dengan majalah Horison dan majalah lainnya.

Walau dengan perasaan tidak terlalu penasaran, saya pun mencari buku itu di toko buku gramed Matraman. tapi tak ada judul buku kumpulan cerpen tersebut di sana. Saya lanjut mencarinya di toko buku depan kampus UNJ, eh ternyata di situ tempat jualan buku-buku gituan. Saya membeli buku kumpulan cerpen Ketika Mas Gagah Pergi yang entah terbitan ke berapa.

Setelah membaca cerpen itu, saya sempat bengong beberapa lama. Menghayati kembali kisah tersebut. Kemudian saya terpekik dalam hati. “Ini baru namanya sastra Islami kontemporer!”

Potret kehidupan anak muda yang berada di lingkaran pergaulan Islami secara elegan terbingkai di dalam kisah ini. Yang membuat saya agak terkejut juga adalah bagaimana dalam sebuah cerpen secara blakblakan bicara tentang Islam. Tentang Palestina, tentang istilah ikhwan dan bakwan. Tentang Jilbab. Sangat berbeda dengan cerpen-cerpen yang pernah saya baca sebelumnya.

Sutradara sedang mengarahkan pemain teater: Shireen Sungkar, Sapto Wibowo, Andi Birulaut, dan Masaji Wijayanto.

UBAH BAIK

Cerpen ini mewakili perasaan anak-anak muda di sekolah dan kampus yang tengah bergiat mengubah diri mereka dari pemuda yang biasa-biasa saja terhadap ajaran agama, menuju anak muda yang akrab dengan amal shalih. Hal ini terwakili dalam karakter Mas Gagah, Tika, dan pada akhirnya Gita.

Pembaca yang telah berubah, – dalam hal ini adalah para aktivis Lembaga Dakwah Kampus dan Rohis di sekolah, seketika mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh yang ada dalam cerpen. Ada Gagah dalam diri mereka. Ada Tika yang mirip mereka. Mungkin juga mereka dulunya pernah seperti Si Adik Manis Gita. Sedangkan pembaca yang belum berubah, mereka segera ingin seperti Gagah atau Gita. Atau diam-diam mengidamkan sosok Gagah untuk menjadi “imam” mereka. Ada yang idamkan Gita menjadi “makmum”nya. Tak sedikit juga yang mengimpikan suatu kelak, anak-anak mereka seperti Mas Gagah dan Gita yang telah berubah baik.

Ubah baik ini mewabah ke mana-mana. Tidak tangung-tanggung Helvy Tiana Rosa penulisnya seakan ingin menampung sebanyak-banyaknya elemen masyarakat untuk berubah. Ada wakil mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, preman, juga pencopet. Tidak tanggung-tanggung juga, konsep ubah baik ini menghentak di paragraf pertama cerpen.

Mas Gagah berubah! Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Seakan mengatakan: “Gue udah berubah! Mau apa loe!” “Ini gue yang sekarang! Loe nggak mungkin balikin gue kayak dulu lagi!

Sebuah ketetapan hati dalam rangka menuju hidayah Allah. Mas Gagah tegas dan konsisten dalam perubahannya,  tetapi tetap lembut mengajak ubah baik adik dan keluarganya.

“Loh, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas.”

Perlu sebuah Hentakan

Hentakan ubah baik kembali merepetisi di adegan-adegan berikutnya. Tiba-tiba Tika muncul sudah dengan menggunakan jilbab menjelaskan tentang istilah Arab yang belum diketahui Gita. Tiba-tiba juga ada sekumpulan preman insaf yang menjadi binaan Mas Gagah. Dan hentakan terakhir adalah ketika Gita mendapati Mas Gagah pergi selama-lamanya. Relasi kakak adik berakhir dengan sebuah katarsis.

Mungkin ubah baik itu butuh hentakan. Apapun hentakan itu. Karena terkadang manusia butuh dibangunkan, butuh disadarkan dengan sesuatu yang mengejutkan lalu membuat matanya terbelalak. Oh ternyata…

Ubah baik adalah misi suci yang diemban karya ini dengan membonceng sastra pop remaja dengan menggunakan idiom kekinian. Misi dakwah Islamiyah ini berjalan mulus karena tidak adanya penampikan bahwa KMGP adalah karya yang buruk dan isinya melulu tentang khotbah.  Jika diamati dengan seksama, memang banyak khutbah terselip di dalamnya. Tetapi Helvy mampu membuatnya bisa dinikmati tanpa membuat pembaca seolah digurui. Ya, karena yang sedang digurui adalah Gita, bukan pembaca. Dialektika kakak adik lah yang membuatnya mulus menggurui. Apalagi ditambah performa emosional tokoh dalam diksi remajawi.

Pasca Mas Gagah “Pergi”, misi ubah baik ini dilanjutkan secara gerilya oleh Yudhistira di tempat-tempat yang bagi kebanyakan orang tidak lazim. Di bus kota, kereta listrik (commuter line), warung-warung, Yudi berlaku sebagai guru pembicara yang mendatangi langsung masyarakat yang membutuhkan nasihat, yang membutuhkan anutan. Jika Mas Gagah berdakwah secara khususan kepada keluarga dan warga rumah cinta, Yudi menjangkau mandala dakwah dengan dimensi yang luas dan agresif. Yudi lebih sering hadir dalam dimensi murba dan jelata, meski ternyata dia adalah pemilik perusahaan besar.

Implementasi misi ubah baik ini tak hanya berhasil dalam dunia fiksi Mas Gagah, tetapi nampaknya menjalar hingga ke dunia nyata. Tak sedikit para pembaca menemukan pencerahan tersebab membaca kisah ini. Misi terbilang sukses.

Saat Pangkas Rambut. Dari kiri: Hamas Syahid, Izzah Ajrina, Helvy Tiana Rosa (Produser), Firman Syah (Sutradara), Aquino Umar, Masaji Wijayanto.

BUDAYA TANDING

Karena manusia yang berubah pasti akan meninggalkan kebiasaan lampau, maka harus ada kebiasaan kini yang berbeda atau bahkan berlawanan dengan yang lama. Kisah ini menawarkan budaya baru yang terasa aneh bagi orang kebanyakan. Ghuroba’ mungkin itulah istilah yang pernah dilontarkan Rasulullah bagi para pengamal kebaikan. Dan Mas Gagah pun mengalami itu. Gita merasa aneh dengan segala kebaruan Mas Gagah.

Dalam proses manusia hijrah, bukan hanya domain teritori saja yang baru, tetapi laku manusia pun diperbarui. Proses ini naluriah dan alamiah. Secara kejiwaan manusia baru itu butuh padanan dari visi mutakhirnya dengan kultur baru agar terjadi keseimbangan. Juga untuk menghidari gejolak batiniah akibat dari ketidakharmonisan kedua hal tadi.

Mau tidak mau. Suka tidak suka. Mas Gagah akhirnya membuang kaset-kaset Air Suplay, Scorpion, Elton Jhon, Queen, Eric Clapton, hingga Lady Gaga. Gantinya adalah lantunan ayat Al-Quran dan nasyid atau lagu Islami yang mendendangkan zikir Ilahi. Kebiasaan nonton konser dan clubbing diganti dengan kebiasaan mengaji dan membaca buku Islam.

Terkait performa fisik Mas Gagah pun ikut berganti. Dari cowok metroseksual dengan dandanan dandy seorang model papan atas, kini terlihat bak supir dengan celana cungkring dan baju koko. Soal salaman pun tak luput dari “jepretan” Helvy. Friksi ini sengaja dibiarkan mencuat untuk mengadakan perlawanan dengan budaya lama. Untuk menandakan perbedaan sebagai konsekuensi dari realisasi paradigma baru.

Masih soal kostum, Gita secara perlahan digiring untuk berubah. Mulai dengan menggunakan rok panjang, rambut yang nggak lagi ditrondolin, hingga menghadiahi jilbab di momentum ulang tahun ke-17 Gita. Busana mungkin bukan hal sepele dalam pembentukan kebudayaan sebuah masyarakat, baik di level lokal, nasional, urban atau suburban. Bahkan seringkali untuk menandai kelompok kecil saja, terjadi seragamisasi secara penuh. Tetapi busana dalam kasus ini bukan hanya sekedar identifikasi sebuah komunal. Busana menjadi bagian dari pengamalan nilai religi. Nilai agama yang telah terinternalisasi kemudian mengejewantah dalam laku. Yang walau pada akhirnya, dalam penilaian awam pun itu bagian dari indentifikasi bagi para pelaku Islami. Mafi musykilah.

Mas Gagah Menghadiahkan Jilbab ke Gita

Soal jilbab memang mendapat porsi yang lebih besar. Beberapa adegan (saya sebut saja adegan karena istilah ini sangat akrab dengan profesi saya sebagai sutradara) di cerpen yang kemudian menjadi novellet ini terjadi berkali-kali. Dimulai saat Gita merasa risih berada di sebuah tabligh akbar yang rerata para hadirinnya menggunakan jilbab. Kedua adalah saat melihat Tika berjilbab. Ketika saat Tika berkisah tentang Nadia sepupunya yang kuliah di Amrik menggunakan jilbab. Terus saat Mama berjilbab. Lalu saat Gita menghadiri seminar tentang generasi muda Islam. Gita bertanya kepada Nadia tentang hukum berjilbab. Di adegan inilah jilbab dipaparkan panjang lebar. Bahkan adegan paling mengharukan adalah ketika Gita mencoba menggunakan jilbab hadiah ulang tahun dari Gagah. Meski Mas Gagah tidak kesampaian melihat kado pemberiannya itu digunakan Gita.

Dan menurut saya yang nampak paling menonjol dari pendobrakan budaya dan memunculkan budaya baru dalam kisah ini adalah saat Gagah Gita menghadiri pesta pernikahan. Paling menonjol karena ada komunitas yang secara berjamaah sepakat untuk tampil berbeda dengan kebiasaan umum masyarakat: memisahkan mempelai pria dengan mempelai perempuan. Para undangannya pun terpisah. Cenderamatanya pun bukan gelas, kipas, atau pembuka tutup botol, melainkan risalah nikah. Isinya pasti menjelaskan tentang adab walimah yang diajarkan Rasulullah. Nilai yang ditanamkan adalah: “Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran.”

Mas Gagah secara gagah memiliki daya tanding yang sangat kuat. Dia mampu melawan dominasi budaya hedonis remaja yang telah terwarnai Barat. Di saat kebanyakan remaja tunduk lemah di bawah pengaruh barat yang mengglobal, di saat itu pula Mas Gagah berdiri lantang menampik. Bukan hanya melawan pengaruh luar, tetapi perlawanan terhadap bisikan nafsu dari dalam diri sendirilah yang paling berat.

OTOKRITIK

Jika sebagian besar kisah Mas Gagah ini berisi tentang keagungan nilai Islam, terselip juga otokritik terhadap penganut Islam. Anutan dan penganut bisa saja berbeda bahkan bertolak belakang. Disinilah kritik itu dibutuhkan. Kritik tidak ditujukan kepada orang yang belum paham nilai, melainkan kepada yang telah paham bahkan mengajarkannya. Otokritik dalam kisah ini yang disampaikan bukan kepada penganut yang biasa saja, melainkan justru kepada para pemimpinnya: Kyai, Ustadz, dan Pak Haji.

“Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku.

Otokritik juga dialamatkan kepada para demonstran berjubah yang ingin merusak rumah ibadah penganut agama lain. Mas Gagah menyampaikan bahwa Islam itu mengajarkan kedamaian dan membawa kepada keselamatan. Selain menyampaikan otokritik, penulis juga secara tegas ingin mengatakan bahwa hak sosial kaum minoritas pun harus dilindungi oleh umat Islam.

Adegan kebakaran, Yudi (Masaji Wijayanto) menolong korban kebakaran yang beragama Nasrani.

TRANSFORMASI DARI CERPEN KE FILM

Bakda membaca kisah Mas Gagah, saya membatin, “Suatu saat, kisah ini harus difilmkan.”

Setelah itu, saya jadi sering membeli majalah Annida yang isinya cerpen-cerpen senada seirama dengan Ketika Mas Gagah Pergi. Saya merasa lengkap sudah lingkungan Islami ini dengan semaraknya karya sastra begituan. Referensi sastra semakin komplit dan lebih kaya dengan hadirnya sastra Islami dalam bacaan saya. Tidak sekedar literatur biasa, tetapi bagian dari laku Islami itu sendiri.

Tidak lama setelah membaca cerpen ini, kemudian terdengar oleh saya berita tentang akan segera difilmkannya kisah ini. Saya pun turut menyambut dengan gembira meski saya tidak menjadi bagian dalam pembuatannya. Dan entah kenapa terdengar lagi kalau proses pembuatan filmnya tersendat dan akhirnya dihentikan.

Tahun berganti tahun. Banyak film Indonesia yang dibuat dari karya novel. Baik kisah yang umum maupun kisah yang bernuansa Islami. Namun Ketika Mas Gagah Pergi yang berkembang menjadi Novellet belum ada yang berniat memfilmkannya kembali setelah gagal di periode lalu. Lalu suatu hari secara mendadak saya ditelpon untuk membantu menyeleksi peserta casting film KMGP di Ragunan karena pesertanya membludak. Karena yang meminta adalah Kyai saya di bidang sinematografi yaitu Chaerul Umam, maka saya tancap gas ke sana setelah meminta izin pamit dari sebuah acara diskusi film. Tersebab takdir Allah, pak Chaerul Umam yang seyogyanya menyutradarai film KMGP ini akhirnya mangkat. Namun beliau sempat menitip amanah yang disampaikannya langsung ke Helvy Tiana Rosa.

“Vy. Jika nanti tidak sempat umur saya menggarap film ini, maka yang cocok untuk menyutradarainya adalah Firman.” Begitu kira-kira kalimat beliau yang saya dengar langsung dari Bunda Helvy Tiana Rosa.

Kalimat ini membuat saya tergetar. Walau tidak seterguncang waktu saya pertama kali ditawari menjadi Co-Sutradara di serial “Ketika Cinta Bertasbih” spesial Ramadhan. Menjadi patner beliau sebagai sutradara di tim 2.

Kata-kata itu bukan membuat saya menjadi besar kepala atau berteriak gembira seakan mendapat hadiah nomplok. Malah bahkan menjadi beban yang saya tidak tahu apakah dapat memikulnya? Lalu saya merenung kembali dan mengingat kenangan beberapa tahun mendampingi beliau menyutradari sinetron juga layar lebar dan sepertinya tidak terlalu ada masalah. Saya selalu dipercaya, bahkan di tahun pertama menjadi Co-Sutradara, saya diajak untuk menerima penghargaan sebagai sutradara sinetron terpuji di Festival Film Bandung tahun 2011.  Keraguan itu berhasil ditampik. Yah, saya memberanikan diri untuk memaksimalkan seluruh potensi menjaga agar kelak film KMGP ini minimal sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Sebisa mungkin di atas ekspektasi masyarakat yang telah lama menanti kisah ini difilmkan.

Bersama Fredy Aryanto, Habiburrahman el-Shirazy, Tomi Satryatomo, Helvy Tiana Rosa.

ADAPTASI KE LAYAR LEBAR

Karena kisah Mas Gagah ini basic-nya adalah cerpen, bukan pekerjaan mudah untuk mengadaptasinya menjadi cerita panjang dan dilayarlebarkan. Kalau tidak berhati-hati maka akan menjadi film pendek yang dipanjang-panjangkan. Pendalaman dan pengayaan karakter setiap tokoh dalam cerpen mutlak dilakukan. Penambahan dan penajaman konflik pun tak dapat dihindari agar kisahnya dapat dinikmati penonton dari adegan satu ke adegan yang lain.

Yang menjadi pertanyaan besar saya adalah bagimana mengadaptasi cerita dari banyaknya tokoh yang berubah karakter? Padahal lazimnya dalam sebuah film yang bagus biasanya yang mengisahkan tentang seorang atau beberapa orang dengan karakter unik yang konsisten. Perubahan karakter dalam sebuah film harus mempunyai motif yang sangat kuat. Tidak sebentar-sebentar berubah. Jika karakter tokoh tidak konsisten, maka yang tertinggal di benak penonton adalah sebuah tanda tanya besar. “Ini koq orang nggak jelas banget sih? Tadi begini, ntar lagi begitu.” Dan memang karakter itu sangat sulit diubah kecuali dengan situasi dan kondisi tertentu. Ada sebuah kisah fabel yang menyangkut tentang betapa sulitnya karakter itu diubah.

Alkisah, seekor Kalajengking mendatangi seekor Katak duduk sedang santai di pinggir sungai yang meluap oleh banjir. “Bung Katak, sungai ini terlalu lebar bagi saya untuk berenang. Bisa tolong bawa saya di punggung Anda untuk menyeberang?”

“Oh, tidak bisa, Bung,” jawab Katak. “Nanti ketika kita sampai di tengah sungai, Bung akan membunuh saya dengan sengatan Bung.”

“Mengapa saya akan melakukan itu?” Tanya kalajengking. “Jika saya membunuh Anda, Anda akan tenggelam ke dasar dan saya juga akan tenggelam.”

Katak tidak menaruh curiga kepada kalajengking karena alasannya sangat masuk akal.

“Okelah kalau begitu,” kata Katak. “Naiklah.”

“Terima kasih banyak, Bung Katak,” kata Kalajengking sambil melompat ke atas punggung Katak.

Katak adalah perenang yang kuat, dan dalam waktu singkat mereka sampai di tengah sungai, tapi masih terlalu jauh bagi Kalajengking untuk mendapatkan posisi aman ke tepi sungai yan dituju.

Namun demikian, Kalajengking menyengat katak dengan alat penyegatnya. Sang Katak mulai mati karena racun, dan Kalajengking mulai tenggelam karena ia telah kehilangan penopangnya. Katak bertanya setengah tidak percaya, “Mengapa? Mengapa Anda menyengat saya? “

 Kalajengking menjawab, “Ini sudah karakter saya.”

Kita semua telah membaca buku Ketika Mas Gagah Pergi. Dan kita juga tahu bahwa ada beberapa tokoh yang dalam waktu singkat berubah. Kecuali Gita yang membutuhkan proses yang tidak sebentar.

Nah, inilah tantangannya.

Karakter Mas Gagah

Semua film di seluruh penjuru dunia yang diadaptasi dari novel pasti melakukan perubahan-perubahan di sana sini. Ada pengurangan, ada juga penambahan. Tidak mungkin cerita itu plek begitu saja tanpa sentuhan penyesuaian bagi format film. Sebut saja film-film termasyhur seperti “The Godfather”, “Lord of The Ring”, “Great Gatsby”, “DaVinci Code”, “Harry Potter”, “Twilight”, “Gone Girl”, “The Fault In Our Stars”, dan sebagainya. Semuanya mengalami perubahan. Meski ada yang berubah secara drastis, ada yang sekenanya saja.

Bagian terpenting dalam proses adaptasi adalah bagaimana seorang sineas menginterpretasi kisah yang ada dalam novel tersebut. Adaptasi bukan sekedar transkripsi novel ke skenario film. Yang perlu diseksamai adalah esensi dan spirit dari kisah itu. Selanjutnya adalah kreatifitas seni bertutur ke dalam media yang berbeda. Sajian film yang tidak mengindahkan spirit dan esensi novel akan berakibat kekecewaan bagi para penonton yang telah membaca bukunya.

Ulasan saya di atas tadi adalah usaha menangkap spirit Ketika Mas Gagah Pergi. Ada ubah baik, hidayah, jilbab, budaya tanding, maka itulah yang akan jadi pegangan penulis skenario, sutradara, tim produser dan segenap kru film dalam melakukan kerja kreatif.

Selanjutnya ya kita tunggu saja hasilnya nanti di bioskop.

Jakarta April-Mei 2015

This post was last modified on 31/01/2021 04:55

Baca Juga

This website uses cookies.