Jangan Hapus Mural Kami

Puisi ini dibuat sebagai ungkapan solidaritas sesama seniman yang karyanya dibungkan, dipreteli tanpa ampun.

dalam hening aku melihat
tembok rumah kami mulai bicara
bukan dari bibir yang melentikkan suara
melainkan dengan sapuan tangkai sang pewarna

tembok rumah kami tak sekedar bicara
tapi ia berteriak, memaki, mengeluarkan sumpah serapah
kadang ia merapal doa
memantik gelitik
menyungkal tanda
menyunggi asa
melafalkan cinta

dan bukan hanya tembok rumah kami
tembok jembatan, pagar, gedung-gedung kantor, ruko, penyanggah jalan tol, pembatas wilayah, pasar, pelabuhan, sekolah, juga ikut bicara

rasa kami sama
resah kami sama
rintih kami sama
kecewa kami sama
protes kami sama

tembok-tembok kami meradang dan marah
karena hati penghuninya dirias darah
tembok-tembok kami meratap nelangsa
karena lambungnya terisi harapan hampa

namun ternyata
teriakan itu tidak bertahan lama
mural indah telah berubah warna
dicoreng oleh kaki tangan penguasa
dengan alasan bahwa ini menganggu ketertiban dan merupakan aksi vandalisme
bahwa ini adalah penghinaan pada simbol negara
maka ambyarlah estetika

rupanya belum puas sampai di situ
para pelukis mural itu kau lacak identitasnya
kau kejar mereka dan kau siapkan sejumlah delik untuk jebloskan mereka ke penjara
kau teror para pelukis lain agar tidak melukis hal serupa
maka runtuhlah kebebasan berpendapat

wahai cecunguk penguasa
tak ada lagi ruang yang kau berikan untuk dialog
seniman-seniman tangguh itu malah kau bunuh
kesenian yang sedang tumbuh malah kau penggal hingga lumpuh

keluh kesah kau anggap hinaan
nasihat kau anggap ancaman
aspirasi kau tuduh fitnahan
kritik tidak kau anggap sebagai bahan renungan

“apa yang salah dari tata laksana pemerintahan ini?”
“apa yang perlu kita benahi?”

jangan lupakan sejarah
tidakkah kau ingat saat negeri ini baru saja diproklamirkan
bagaimana kemerdekaan negeri ini dipertahankan salah satunya dengan mural?
gemuruh perlawanan membahana dari tembok-tembok itu
lihatlah semangat rakyat berkobar-kobar menantang para penjajah
meledek para kolonialis yang datang kembali hendak mengangkangi ibu pertiwi

ingat, mural adalah penyumbang kemerdekaan kita
lalu bagaimana dengan mural yang dilukis di tengah hutan-hutan itu
di kalimantan, sulawesi, sumatera, dan papua
yang dipahat bukan dengan cat dan kuas melainkan dengan alat berat dan tangan besi
bukannya digunakan untuk kesejahteraan rakyat sendiri
tapi kekayaan alam itu dikeruk untuk membusungkan dompet-dompet oligarki

itu yang perlu kau hapus
bukan mural kami

kau ini bagaimana?
sama kaos kau takut
sama tagar kau takut
sama baliho kau takut
sama mural kau lebih takut
sama pemodal kau tidak takut

janganlah hapus mural kami
tapi jika kau tetap memaksa
hapus satu tumbuh seribu

(solidaritas sesama seniman antipembungkaman ekspresi)

Jangan hapus juga puisi ini

Mungkin Anda Menyukai