ka ga nga nka
pa ba ma mpa
ca ja nya nca
ya ra la wa
sa a ha
inilah lontara
berguman dan berdesis menjadi sistem tanda
berwujud dalam sebuah aksara
berseru mengatakan inilah bahasa
berteriak mengatakan kami ada
sebagai bangsa
yang berbudaya
dari luwu sampai gowa
dari makassar hingga mamasa
ka ga nga nka
pa ba ma mpa
ca ja nya nca
ya ra la wa
sa a ha
inilah lontara
yang ajarkan kita tentang agama
adat istiadat, hingga pemerintahan negara
yang didendangkan para ulama
yang digubah anre gurutta
yang diamalkan raja-raja
yang diikuti oleh rakyat jelata
ka ga nga nka
pa ba ma mpa
ca ja nya nca
ya ra la wa
sa a ha
inilah lontara
bersumber dari sulapa eppa
raganya seperti ketupat berbelah
simbol susunan alam semesta
api, air, angin, dan tanah
bunyinya dengar saja
ka ga nga nka
pa ba ma mpa
ca ja nya nca
ya ra la wa
sa a ha
inilah lontara
katanya aksara dari brahmi India
dari nama pohon Palmyra
serapan bahasa Malaya
sekarang jadi Indonesia
dikenal di nusantara
tenggara asia, bahkan seluruh dunia
ka ga nga nka
pa ba ma mpa
ca ja nya nca
ya ra la wa
sa a ha
inilah lontara
menyuruh kita untuk membaca
seperti quran yang menyeru: bacalah, bacalah, bacalah
membaca tanda-tanda
yang kauniyah yang qauliyah
membaca kitab-kitab sejarah
i la galigo maupun negara kertagama
yang diselami oleh karaeng pattingalloang hingga mattulada
berdiri tegak di layar pinisi ammana gappa
ka ga nga nka
pa ba ma mpa
ca ja nya nca
ya ra la wa
sa a ha
inilah lontara
kini nasibmu apa?
berjamur di sudut museum juga perpustakaan meratap merana
tangisi hidupnya yang tinggal belulang berduka lara
diacuh para siswa
tak diindah mahasiswa
termasuk saya
kadang-kadang saja diindah pada seminar maupun lokakarya
agar dibilang punya apresiasi melestarikan budaya
ternyata hanya retorika belaka
bukan bermaksud menyindir anda-anda
melainkan beginilah realita
(mulai berdesis) ka ga nga nka
pa ba ma mpa / ca ja nya nca
ya ra la wa
Sa a ha
begitulah lontara
sekarang nasibnya apa?
mungkin seperti dendangan lagu seroja
nyanyian melankolis film-film melodrama
romantika, romantika
cengeng, melankolis, tanpa harga
mana siri’na
mana pesse’na
tidak seperti lontara
saat bangsa dilanda prahara
yang sakitnya tak reda-reda
terpojok tak tahu harus bagaimana
merintih di lorong-lorong suram bagai di neraka
terpanggang amarah
tapi tak mengerti musti berbuat apa
karena hidup bukan perbuatan saja
berbuat tanpa arah
hanya menggebuk angin seperti orang gila
ka ga nga nka
pa ba ma mpa
ca ja nya nca
ya ra la wa
sa a ha
di mana diletakkan lontara
saat nurani telah hilang dari dada penguasa
yang diraup, dikeruk, dirampok hanya untuk keuntungan semata
bagi kemakmuran diri, kelompok, dan keluarga
tak perduli lagi itu buruk dan berlumur dosa
kurang apalagi negeri ini digunduli hutan-hutannya
kurang apalagi negeri ini dikeruk gunung-gunungnya
kurang apalagi negeri ini dilubangi daratan-daratannya
kurang apalagi negeri ini diangkut keluar negeri pasir-pasirnya
kurang apalagi negeri ini dikuras harta lautnya
kurang apalagi negeri ini dijual asset-asetnya
kurang apalagi negeri ini diperkosa tenaga kerjanya
kurang apalagi negeri ini dikorupsi anggaran belanjanya
kurang apalagi negeri ini dikebiri hak asasinya
kurang apalagi negeri ini dijualbelikan perkara hukumnya
kurang apalagi negeri ini didagangsapikan tatanan demokrasinya
kurang apalagi negeri ini digadaikan harga dirinya
tetapi bagi mereka
ini tetap saja kurang, kurang, kurang untuk memenuhi segala hawa nafsunya
untuk melampiaskan segenap ambisinya
tetap saja kurang bagi mereka
maka habislah, habislah semuanya
inilah lontara
harusnya dibaca
biar mengerti tentang sejarah
biar paham akan budaya
inilah lontara
yang nasehatnya tetap setia
pada setiap masa
pada semua anak bangsa

Bali, 2009
dibuat dan dibacakan pertama kali saat acara Rapimnas Ikami SS di Denpasar, Bali.