Sebelum kita membahas tentang dasar penulisan skenario, kita flashback dulu masa ratusan-ribuan tahun lalu.
Sejak zaman dahulu kala, semua orang pasti suka dengan cerita. Baik anak kecil hingga orang dewasa. Para pencerita selalu banyak orang yang mengerubutinya untuk mendengarkan kisah-kisah. Orang-orang yang datang berkelana pun kerap menceritakan cerita-ceritanya semasa pengelanaannya. Guru-guru pembicara menyampaikan petuah dan nasihat lewat kisah-kisah. Baik kisah nyata maupun fiksi.
Seiiring perkembangan peradaban manusia, cerita-cerita ini mulai dikemas lewat beragam media. Ada yang lewat tulisan (sastra), pewayangan, teater, sandiwara radio, hingga film dan sinetron. Bahkan kitab suci pun penuh dengan kisah-kisah sejarah masa lampau maupun kisah masa depan.
Dongeng Modern
Anak-anak sangat suka dengan dongeng. Ada anak yang tidak bisa tidur sebelum orang tua mereka menceritakan sebuah kisah.
Dan zaman now, film adalah dongeng modern. Dongeng dengan perangkat teknologi paling mutakhir. Melibatkan banyak orang dari kru hingga pemain. Dari produser hingga penonton.
Meski begitu, apapun medianya, kisah-kisah ini pasti memuat pelajaran kehidupan. Ada banyak pesan moral yang tersampaikan dari sebuah kisah. Dan memang begitu. Orang zaman dulu untuk memudahkan mereka menyampaikan nasihat, dongeng adalah sarana yang cukup efektif. Mereka ingin melarang pernikahan antara orang tua dan anak, maka dibuatlah cerita tentang Sangkuriang. Agar anak tidak mendurhakai orang tua, maka dibuatlah dongeng Malin Kundang.
Bisa saja orang zaman baheula membuat semacam spanduk larangan anak untuk menikahi ibu kandungnya, tetapi itu tidak akan efektif. Namun dengan kisah Sangkuriang tersebut, orang akan takut dengan akibat buruk tersebab perbuatan itu.
Zaman dulu bisa saja seorang raja membuat maklumat agar anak tidak mendurhakai orang tuanya. Tetapi maklumat itu tidak seefektif kisah Malin Kundang. Masyarakat akan terus terkenang dengan tulah dari perbuatan Malin Kundang. Masyarakat tidak mau nasib mereka mengenaskan karena dikutuk menjadi batu.
Meski kisah, cerita, dongeng, berisi nasihat-nasihat, tetapi orang-orang siapa saja, sangat menyukainya. Orang-orang tidak peduli kalau dirinya sedang digurui, diberikan petuah, lewat perantaraan kisah-kisah tersebut. Bahkan kita enjoy enjoy saja meski telah mendengarkan atau menonton cerita itu berkali-kali. Ketertarikan manusia pada kisah inilah yang membuat para penulis novel, penulis cerpen, penulis dongeng, dan penulis skenario, tidak akan pernah berhenti memproduksi kisah-kisah. Ketertarikan manusia pada cerita membuat sebahagian orang menganggap ini adalah bisnis yang sangat menggiurkan.
Apa hubungan cerita dengan nasihat?
Ya tentu saja banyak. Cerita yang bermutu adalah cerita yang memiliki pesan moral yang sangat kuat. Dari nasihat atau pesan moral itu lah, sebuah kisah menjadi pelajaran hidup bagi orang yang menikmatinya. Akan menjadi inspirasi kebaikan yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik. Atau lebih dapat memahami orang-orang yang berbeda dengannya. Lebih dapat meneladani perjuangan tokoh dalam mengatasi problematika hidupnya. Penonton akan dapat menemukan solusi-solusi efektif seperti yang disuguhkan oleh tokoh-tokoh dalam cerita.
Jadi alangkah naifnya jika ada seorang sutradara, produser, atau penulis skenario yang mengatakan kalau hanya untuk menyampaikan pesan moral, mending tidak usah bikin film. Bikin spanduk saja dan tulislah pesan moral mu di spanduk itu.
Ini salah kaprah yang sangat besar. Memang ada film-film yang dibuat hanya untuk kesenangan penonton saja. Hanya untuk menghibur penonton saja. Tetapi film-film seperti ini tidak akan dikenang sebagai film yang bermutu. Atau sebagai film yang “abadi”, yang bisa dinikmati kapan saja dalam tahun-tahun yang panjang.
Ini terbukti dengan benyaknya film-film bermutu yang masih ingin ditonton hingga saat ini. Film-film yang masih saja menjadi bahan penelitan ilmiah dan menjadi pelajaran pada pendidikan formal maupun informal.
Kenapa dalam membuat film harus membikin skenarionya dulu? Apa nggak bisa langsung syuting saja?
Bisa aja sih kita bikin film tanpa penulisan skenario. Tetapi itu hanya akan menyusahkan diri sendiri dan menyusahkan banyak orang. Saat syuting berlangsung, pemain dan kru tidak tahu apa yang akan disyut. Hanya menunggu sutradara memberikan arahan. Lalu bagaimana pemain mau ngapalin dialog? Bagaimana kru kostum ingin menyiapkan busananya? Dan banyak kesulitan-kesulitan lainnya. Apalagi membuat film itu menggunakan peralatan-peralatan yang mahal harga sewanya. Masak kita harus syuting berbulan-bulan?
Skenario berfungsi sebagai panduan saat syuting. Kalau arsitek wajib membuat blue print sebelum mendirikan bangunan. Kru film harus punya skenario. Seperti percetakan yang ingin membuat brosur. Harus ada designnya dulu. Wajib bikin plat dulu.
Dari mana kita memulai membuat skenario?
Kita bisa memulainya dari pesan moral (ide pokok) apa yang ingin kita sampaikan? Gagasan apa yang ingin kita tawarkan kepada penonton? Tetapi kita bisa juga memulai dari inspirasi kisah nyata, dan setelah itu baru kita tentukan pesan moral apa yang tersirat dari peristiwa tersebut.
Sebagai contoh dongeng Sangkuriang. Orang masa lalu ingin menyampaikan bahwa pernikahan anak dan orang tua kandung itu tidak boleh atau haram. Bahwa pernikahan orang tua dan anak kandung adalah cinta terlarang. Maka muncullah tokoh Sangkuriang (anak) yang ingin menikahi Dayang Sumbi, ibunya sendiri.
Pernikahan antarsaudara kandung juga tidak boleh. Maka dibuatlah cerita tentang Sawerigading yang ingin menikahi saudari kandungnya sendiri We Tenriabeng.
Kita ingin menyampaikan pesan moral bahwa cinta tidak memandang status sosial, maka lahirlah kisah Romeo yang proletar dan Juliet yang bangsawan.
Cinta itu tidak memandang suku dan adat istiadat, maka muncullah tokoh Zainuddin (Makassar) dan Hayati (Minang) di novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck.
Bahwa rambut perempuan itu adalah aurat yang harus ditutupi, maka lahirlah kisah Mas Gagah yang ingin adik perempuannya Gita menggunakan jilbab (film Ketika Mas Gagah Pergi the Movie).
Itulah beberapa contoh kisah yang dimulai dari pesan moral yang ingin disampaikan. Ada juga skenario yang bermula dari kisah nyata pengalaman tokoh, teman, atau pengalaman pribadi. Sebagai contoh kisah nyata Pak BJ. Habibie dan Ibu Ainun Hasri Habibie. Dari kisah keduanya itu, pembuat film ingin mengatakan bahwa “cinta sejati tak lekang oleh waktu”.
Kita bisa saja mengambil cerita dari pengalaman seseorang, lalu mengambil kesimpulan tentang apa pesan moral dari kisah tersebut. Apakah tentang cinta sejati? Atau tentang kesetiaan, harga diri, atau apa saja. Bahwa ada hikmah dari kisah-kisah tersebut.
Mungkin ada cerita yang menarik, tetapi jika tidak ada pesan moral, maka kisah tersebut berkurang mutunya. Tak ada pelajaran yang bisa dipetik dari situ. Inilah kunci penulisan skenario.
Bagaimana menentukan tema?
Setelah kita mendapatkan dan menentukan pesan moral yang mungkin kita ambil dari kitab suci, pepatah, nasihat orang tua, atau pengalaman hidup sendiri, setelah itu proses kreatif dari pembuatan kisah dimulai. Kita akan membuat cerita dasarnya: ini kisah tentang siapa yang bagaimana.
Film kita mempunyai pesan moral bahwa “cinta tak memandang status sosial”. Setelah itu kita tentukan kisah ini bercerita tentang siapa? Mungkin saja tentang Jack si miskin yang berusaha mendapatkan cinta Rose putri bangsawan (film Titanic).
Dasar cerita film itu rumusnya sederhana : Tentang Siapa Yang Ngapain.
Pesan moral film kita bisa saja mirip atau sama saja dengan film-film yang pernah dibuat. Maka agar mempunyai nilai lebih atau yang membedakan dengan film lainya, maka tentang siapa yang ngapain inilah yang perlu diolah agar berbeda dan lebih menarik.
Romeo-Juliet dan Jack-Rose mengambil ide pokok (pesan moral) yang sama. Juga tentang siapa yang ngapainnya juga hampir sama. Tetapi Jack-Rose mengambil latar kapal Titanic. Film Titanic bercerita tentang perjuangan cinta Jack dan Rose di sebuah kapal mewah yang tenggelam. Inilah keunggulan kisahnya yang berbeda dengan kisah yang mempunyai ide pokok yang sama.
Kita mungkin bisa mengambil ide pokok “cinta terlarang”nya Sangkuriang, tetapi film kita berkisah tentang Zainuddin yang ingin menikahi Hayati yang ternyata adalah saudara sesusuannya.
Ada banyak sekali produksi flm setiap harinya, jadi memang butuh olah kreatifitas dalam menentukan ide pokok dan dasar cerita kita. Basic story atau cerita dasar ini sedapat mungkin langsung menarik perhatian orang. Sebisa mungkin langsung ada konflik atau hal menarik lainnya. Kalau tidak, produser atau investor akan berkerut kening lalu bertanya, apa menariknya? Emang bisa menjual? Apa gak basi cerita begituan?
Nah, setelah dasar ceritanya kita temukan maka kita akan menambahkan konflik dan hal-hal lain yang akan kita bahas di artikel penulisan skenario berikutnya.
Selamat berkarya.
Jangan lupa kalau kamu ingin mengutip artikel penulisan skenario ini, harap menyebutkan sumbernya. Terima kasih.
BACA JUGA :
- Struktur 3 Babak, Babak 1 Pembukaan
- Struktur 3 Babak, Babak 2 Pengembangan
- Struktur 3 Babak, Babak 3 Penyelesaian
This post was last modified on 22/06/2022 16:50