Pada tahun 1664, sekitar 250 orang Makassar, terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak, tiba di Ayuthia dari pulau Jawa. Mereka dipimpin seorang bangsawan Makassar yang mengasingkan diri dari negerinya. Raja Narai (Raja Thailand) menyambut mereka dengan baik, diberikan tempat tinggal di sebelah Selatan perkampungan Melayu, di pinggir sungai kecil yang dikenal sebagai Sungai Melayu. Mereka diberi juga sawah, kerbau dan bajak untuk mengerjakan sawah mereka, dan setiap tahun mendapat hadiah uang dan pakaian dari raja.
Tahun 1682, Daeng Mangalle ikut serta dalam pemberontakan orang-orang Melayu, yang akhirnya gagal. Kaum pemberontak diampuni, termasuk Daeng Mangalle. Tetapi, sejak itu, Daeng Mangalle yang akrab dengan raja, bahkan dipercayakan jabatan tinggi sebagai POKJA (bendahara kerajaan), tidak muncul di istana dan tidak punya hubungan baik lagi dengan raja. Beberapa pemberontak dihukum berat dan beberapa lainnya mendapat pengampunan dari Raja Narai seperti Datuk Melayu dan Campa.
Pemberontakan itu, tidak berakhir sampai di situ. Pada tahun 1686 orang Melayu, orang Campa, orang Makassar, sepakat melakukan lagi pemberontakan pada hari Kamis, tanggal 15 Agustus, jam 11 malam. Pemberontakan ini diperkarsai tiga orang pangeran Campa, saudara kandung raja Campa, yang mengasingkan diri ketika saudaranya naik tahta. Mereka akan membakar kota, dan sewaktu orang sibuk memadamkan kebakaran, mereka menyerang istana, melepaskan tahanan-tahanan, membunuh raja dan menggantikan dengan adik Raja Thailan yang rupanya menyetujui rencana ini.
Pada waktu itu, saat pemebrontakan dikobarkan, Raja Narai sedang beristirahat di kediamannya di luar kota, di Pichilok (oleh orang Eropa pada saat itu disebut Louve). Raja Narai mengirim Perdana Menteri Kerajaan Thailand, Counstace Phaulkon ke Ibukota, untuk menggagalkan pemberontakan itu. Istana dan beberapa tempat penting seperti, jalan raya dan benteng kota di jaga ketat oleh ribuan laskar Thailand. Orang asing dianjurkan supaya waspada.
Sementara itu, orang Melayu, Campa, dan Makassar sudah berkumpul di sekitar kampung Makassar. Tetapi, diantara mereka yang berkumpul malam itu, 300 orang Melayu saat itu tidak setuju dengan pemberontakan itu, mempengaruhi orang Melayu yang lain untuk meninggalkan komplotan. Lalu, tiba kabar bahwa pasukan Thai sudah dalam keadaan siap siaga. Rencana peberontakan gagal.
Siapa yang membocorkan rencana pemberontakan ini, sumber-sumber sejarah bertentangan antara satu dengan yang lain:
- Dibocorkan oleh pemimpin orang-orang Melayu sendiri.
- Adik Raja Narai yang tadinya setuju dengan rencana pemberontakan itu, berubah pendirian dan membocorkan kepada raja.
- Dibocorkan oleh salah seorang Pangeran Campa, yang punya kedudukan tinggi di istana.
- Surat yang dikirim Daeng Mangalle kepada orang Makassar yang lain.
- Surat yang dikirim oleh dua pangeran Campa kepada yang ketiga, jatuh di tangan Perdana Menteri Phaulkon.
Setelah pemberontakan gagal, raja memerintahkan Perdana Menteri Phaulkon menyampaikan pesan kepada orang Melayu, Campa, dan Makassar, supaya dalam waktu empat hari, datang menghadap untuk mengakui kesalahan dan melaporkan nama-nama anggota komplotan mereka. Kalau tidak, mereka akan mendapat hukuman yang mengerikan.
Pada awalnya, pemimpin orang Melayu dan Pangeran Campa menolak. Tetapi setelah dibujuk dan dijanjikan pengampunan, mereka menyerah dan melaporkan apa yang diketahuinya tentang komplotan pemberontak kepada Raja Narai di Phicilok. Sebagian besar diampuni, dan sebagiannya lagi dihukum.
Hanya Daeng Mangalle yang menolak. Katanya: “Saya tidak pernah mau berontak. Kesalahan saya hanyalah karena tidak melaporkan pemberontakan yang direncanakan oleh orang Melayu dan Campa. Tetapi, sebagai seorang Pangeran, saya tidak boleh menghianati sahabat dengan membuka rahasia yang dipercayakan. Karena itu, tidak patut saya merendahkan diri dengan datang minta ampun kepada raja” Penolakan Daeng Mangalle, menjadikan suasana menjadi tegang dan kedua belah pihak siap menghadapi perang.
Sementara keadaan tegang, sebuah perahu Pinisi yang membawa barang dagangan dan bingkisan dari Raja Gowa untuk Daeng Mangalle, tiba di Ayuthia. Rencana Perdana Menteri Constance Phaulkon untuk menyerang Daeng Mangalle ditunda. Meskipun awak Pinisi itu hanya 50-an, tetapi, dalam pemikiran Perdana Menteri Phaulkon, Pinisi itu adalah bagian dari armada Karaeng Galesong yang terkenal ketangguhannya. Kalau Daeng Mangalle diserang pada saat itu, meskipun awak Phinisi itu hanya 53 orang, ketangguhannya tetap saja memeberikan kekuatan tambahan kepada Daeng Mangalle, yang akan merepotkan.
Sesudah dagangan habis dijual, Nahoda perahu Pinisi itu minta pas jalan untuk meninggalkan Ayuthia. Pada tanggal 23 Agustus, Nahkoda perahu Pinisi menerima pas jalannya. Sebenarnya, pemberian pas jalan itu hanya merupakan akal-akalan agar awak Pinisi yang berjumlah 53 orang tidak menggabungkan diri dengan orang Makassar di Ayuthia.
Tetapi Pinisi itu pun tidak boleh meninggalkan Thailand karena khawatir akan datang kembali dengan bala bantuan yang lebih banyak untuk membantu Daeng Mangalle. Semula Perdana Menteri Constance Phaulkon merencanakan dan memerintahkan kepada dua kapal patroli kerajaan yang dipimpin oleh Kapten berkebangsaan Inggeris bernama Coats, menembak Pinisi itu pada saat keluar dari kota, dengan dalih tidak cepat memetuhi perintah berhenti untuk memperlihatkan pas jalannya kepada pengawal.
Tetapi setelah melepaskan beberapa tembakan yang diarahkan ke Perahu Pinisi itu, setelah berada di luar kota, serangan terpaksa dihentikan, karena khawatir kantor perdagangan Belanda yang dekat dari sungai, akan hancur bila pecah peperangan. (Kota Ayuthia dibangun sebelah-menyebelah Sungai Menam, cukup jauh dari laut) Dengan demikian, perahu Pinisi itu dibiarkan keluar.
Phaulkon kemudian mengeluarkan perintah baru kepada Kapten Forbin, berkebangsaan Perancis, komandan benteng Bangkok di muara sungai, yang selalu ditutup dengan rantai besar, untuk menahan perahu Pinisi itu. Perintah ini diterima Kapten Forbin tanpa ragu dan segera menyiapkan ruangan terungku cukup luas untuk menampung 50 orang.
Tanggal 12 September, perahu Pinisi itu tiba di benteng Bangkok. Setelah melihat sungai ditutup dengan rantai, Nahkoda Pinisi naik ke darat bersama 7 awak perahu untuk bertemu dengan komandan benteng. Kapten Forbin menerima dan menjamu mereka dengan hormat di ruangan makan para perwira, sembari memeriksa pas jalan mereka.
“Karena kekacauan yang terjadi dalam negeri, saya diperintahkan untuk tidak meloloskan warganegara Siam keluar negeri. Surat ini memang beres, tetapi penumpang dan awak perahu harus diperiksa. Setelah dipastikan tidak ada warga negara Siam, baru rantai sungai dibuka. Jadi, penumpang dan awak perahu harus naik semua di daratan” kata Kapten Forbin.
“Baiklah, asal mereka diperkenankan membawa senjata mereka. Kalau disuruh menanggalkan itu, bagi kami orang Makassar, adalah penghinaan besar.”
Kapten Forbin menerima permintaan Nahkoda Pinisi dengan pertimbangan, pasukan di sekelilingnya cukup banyak dan semua bersenjata api. Kemudian, Nahkoda mengirim dua temannya untuk memanggil awak Pinisi naik di darat. Forbin kemudian keluar dari ruangan makan untuk memerintahkan kepada seorang ajudan bangsa Portugis supaya awak Pinisi ditunggu di tengah jalan, dikepung, diambil senjatanya dan ditangkap. Sementara itu Nahoda dan 6 orang Makassar lainnya menunggu di ruang makan perwira.
Yang ditugasi Kapten Forbin, kebetulan lahir di Asia, menjelaskan kepada Kapten Forbin bahwa perintah ini tidak mungkin bisa dilaksanakan. Menurut pengalamannya, orang Makassar tidak bisa dikuasai, kecuali kalau dibunuh. Tetapi Kapten Forbin tidak percaya sehingga perintahnya dipertahhankan.
“46 orang yang hanya bersenjatakan pisau dan tombak, tidak mungkin mampu menahan serangan serdadu yang bersenjata bedil”
Kembali ke benteng, Kapten Forbin memerintahkan 20 serdadu Thailan untuk mengepung dan menangkap Nahoda beserta temannya yang sedang menunggu di ruangan makan perwira. Dengan ramah Kapten Forbin kemudian menemui Nahkoda dan temannya. Dengan minta maaf berkali-kali, Kapten Forbin memberitahukan bahwa dia diperintahkan menahan mereka, suatu hal yang dia lakukan dengan sangat menyesal. Mendengar perkataan ini, keenam orang Makassar serentak menghunus senjata pinggang mereka dan terus mengamuk.
Penerjemah dan enam perwira Thailand yang ada dalam ruangan itu, terbunuh. Kapten Forbin hampir terbunuh juga, dia diselamatkan serdadu yang segera masuk ke dalam ruangan dan menembak mati 4 orang Makassar.
Nahoda dan seorang temannya, meskipun luka-luka, sempat lolos dengan melompat ke bawah dari tembok benteng itu.
Sementara itu, awak Pinisi yang tadinya menunggu di perahu, sudah naik di darat. Kapten Forbin yang baru mengerti kebenaran pendapat ajudan Portugis tadi, segera mengirim dua kompi orang Portugis yang dipimpin oleh Kapten Hue dan Kapten Minchin untuk menghadang mereka. Kapten Forbin sendiri memimpin satu batalion laskar Thai, yang sedang mengikuti latihan militer pertama.
Kurang lebih lima puluh langkah dari rombongan awak Perahu Pinisi yang belum tahu peristiwa yang baru terjadi di benteng, Kapten Forbin menyuruh mereka turun kembali ke perahu, dengan pertimbangan lebih gampang menguasai mereka kalau berada di kapal karena mereka tidak mempunyai senjata api. Tetapi awak Pinisi ragu dan curiga. Mereka menyatakan tidak akan kembali ke Pinisi sebelum bertemu dengan Nahkoda mereka.
Melihat sikap mereka, Kapten Hue memerintah kompinya untuk memaksa. Tetapi begitu mereka bergerak, orang Makassar yang tadinya berjongkok, segera meloncat berdiri, menghunus senjata pinggang mereka dan menyerbu dengan memakai sarung mereka yang tergulung sebagai perisai. Kapten Hue dengan enam orang lainnya terbunuh.
Setelah menembus kompi Kapten Hue, awak Pinisi menuju ke arah batalyon Thai. Meskipun terdiri atas lebih dari 1000 orang, laskar Thai panik berlarian kacau balau dikejar oleh orang Makassar dan banyak yang terbunuh. Sebagian pasukan Thailand yang masih hidup, mundur ke dalam benteng, dan sebagian lari ke kampung di belakang benteng. Enam orang Makassar mengejar mereka dan membunuh semua yang bergerak di situ.
Kelompok awak Pinisi yang lain, menyerbu sebuah biara, membunuh penghuninya dan berkubu di situ. Kelompok yang lain, kembali ke Pinisi untuk mengambil tombak dan perisai, kemudian membakar perahu Pinisi mereka sebagai tanda sudah siap mati.
Sesudah itu, mereka pergi membakar perkampungan dan menyerang laskar Thailan dan membunuh semua orang yang ditemuinya, sehingga penduduk di sekitar itu berlarian atau melompat ke sungai untuk menyelamatkan diri. Kapten Forbin dengan satu pasukan kecil menembaki mereka, tetapi mereka mundur ke dalam hutan yang terlalu lebat untuk di ikuti.
Sementara itu, tibalah laporan mengenai sekelompok awak Pinisi yang berkubu dalam biara. Kapten Forbin ke sana dengan 80 laskar Thailand dan membakar biara. Awak Pinisi yang dalam biara, terpaksa keluar dan lari bersembunyi dalam semak-semak di sekitar biara. Dengan perlawanan yang sengit, akhirnya mereka dibunuh satu persatu. Dalam pertempuran hari itu, 17 awak Pinisi tewas, tetapi meraka sempat membunuh 300 tentara Thai, termasuk orang Inggris dan Portugis. Belum terhitung korban sipil.
Sampai tiga minggu kemudian, orang Makassar terus bertahan dalam hutan dan hanya kadang-kadang keluar mencari makanan dalam kebun-kebun di sekitar hutan. Mereka tidak bisa lagi mencapai perkampungan, semua jalan dijaga ketat pasukan Thailand. Lama kelamaan, jumlah mereka berkurang. Beberapa diantaranya tewas dalam pertempuran kecil dan yang lain mati kelaparan.
Akhirnya, Kapten Forbin memutuskan menyelesaikan pertempuran dengan mengerahkan 2 batalyon mengepung hutan. Dengan berjalan dalam air setinggi lutut, Kapten Forbin memimpin satu kompi ke dalam hutan yang sedang tergenang banjir. Tujuh belas awak Pinisi yang didapati masih hidup, bertahan di atas bukit kecil yang dikelilingi air.
Kapten Forbin menyuruh mereka menyerah, dengan janji akan minta pengampunan bagi mereka dari Raja Siam. Tetapi orang Makassar menganggap tawaran itu suatu penghinaan. Meskipun sudah sangat lelah, mereka melemparkan tombak ke arah laskar Thailand, lalu melompat ke dalam air dengan keris terhunus untuk penyerbuan terakhir, dan mereka tewas semua.
Pertempuran di Bangkok, tidak meredakan ketegangan di Ayuthia. Kampung Makassar dikepung 3.000 sampai 4.000 pasukan Thailand. Meskipun begitu, Raja Thailand masih bersedia mengampuni Daeng Mangalle, asal mau mengaku salah dan melaporkan nama orang-orang Thailand yang terlibat.
Setelah kembali dari Pachilok ke Ayuthia, Raja Thailand perintahkan Opra Chula, seorang pembesar Thai, yang memerintah daerah ibukota di mana terletak kampung Makassar, untuk menyampaikan perintah menghadap raja kepada Daeng Mangalle. Pertemuan Daeng Mangalle dengan Opra Chula berlangsung di rumah Opra Chula sendiri, tidak jauh dari kampung Makassar. Mula-mula, Daeng Mangalle menolak menghadap raja.
“Baginda mencurigai saya karena hasutan Perdana Menteri Phaulkon. Kalau saya menghadap, Phaulkon akan mengeluarkan tuduhan palsu, dan baginda akan percaya. Kalau baginda sudah tidak menyenangi dan tidak mau lagi menunjang kami, biarlah kami pergi dari negeri ini. Dan kalau baginda sudah bertekad menghancurkan kami, biarlah kami menunggu nasib di rumah, dan kami akan memperlihatkan kepada semua orang bahwa, kami adalah jantan Makassar, bukan perempuan Thai,” kata Daeng Mangalle.
Opra Chula terus membujuk. Pada tanggal 20 September, Daeng Mangalle dengan rombongan sekitar 30 orang muncul di depan istana, semuanya bersenjatakan keris dan tombak. Di pintu gerbang, Daeng Mangalle mengirim pesan untuk menghadap meminta ampun dan berjanji akan tetap bersikap damai. Sebagai jawaban, Raja Narai akan menerima dengan syarat, Daeng Mangalle dan rombongannya harus meletakkan senjata sebelum menghadap. Daeng Mangalle menolak keras.
“Saya tidak akan tunduk kalau syaratnya menerima penghinaan yang demikian. Saya ini ibarat sepohon kayu besar yang terancam badai. Andaikan angin datang, saya akan tahan. Kalau pun akhirnya saya roboh, akan hancur pula pohon-pohon kecil di sekitar saya. Kalau tidak diperbolehkan menghadap dengan bersenjata, biarkan kami pulang. Kalau baginda mau berurusan dengan saya, biar baginda sendiri yang menemui saya. Dan baginda tahu di mana tempat tinggal saya.”
Sudah jelas, orang Makassar tidak mau tunduk. Bagi Raja Narai, tidak ada jalan selain kekerasan. Malam itu juga, pasukan Thailand yang cukup banyak, ditempatkan di sekitar kampung Makassar. Di sungai yang membatasi kampung itu, ditempatkan 2 kapal perang, 22 galei dan 60 perahu kecil.
Melihat persiapan itu, orang Makassar mengerti, serangan sudah dekat. Mereka saling minta maaf satu sama lain, supaya tenang menghadapi maut. Dari kantor perdagangan Belanda yang jaraknya kurang lebih satu setengah mil, orang mendengar teriakan “A’ngaru” (Bhs. Makassar: menyatakan tekad) yang mengerikan.
Tengah malam, Perdana Menteri Constance Phaulkon, sebagai pemimpin operasi, datang dengan kapal perang kerajaan Siam, di bawah komandan orang Inggris, Kapten Coats, diiringi kurang lebih 60 orang Eropa, mengadakan inspeksi terakhir persiapan penyerangan.
Kampung Makassar berada di sebelah Selatan kota, menempati sebidang tanah bersegi tiga, memanjang ke Selatan, di sebelah Timur dibatasi sungai besar, Menam. Di sebelah Utara dibatasi sungai kecil yang dikenal sebagai Sungai Melayu, karena kampung Melayu terletak di seberangnya. Dan di sebelah barat daya terdapat sebuah rawa yang memanjang dari Sungai Menam, kurang lebih sepuluh depa dari sungai Melayu. Dengan demikian kawasan ini hampir merupakan pulau. Perkampungan di situ tidak terlalu padat, masih banyak padang terbuka, kebun, dan rumpun bambu.
Rencana operasi Perdana Menteri Constance Phaulkon adalah: 1.500 pasukan ditempatkan sepanjang Sungai Menam di seberang kampung Makassar. 1.000 lagi di sebelah Utara Sungai Melayu di bawah pimpinan Opra Chula. Serangan akan dimulai pada jam setengah lima, dengan tembakan meriam, guna menghancurkan kampung, lalu perahu-perahu akan mendaratkan pasukan penyerbu. Okluang Mahamantri, komandan pengawal pribadi Phaulkon, menempatkan 1.000 laskar di belakang rawa di barat daya dan menutup jalan antara rawa dan Sungai Melayu dengan pagar bambu, untuk mencegah orang Makassar lolos.
Setengah lima, Okluang Mahamantri mendekati Sungai Melayu untuk mengadakan hubungan dengan Opra Chula, tetapi dia dihadang oleh orang Makassar dan tewas bersama tujuh orang Thailand lainnya.
Sesuai dengan jam yang ditentukan, tembakan mulai dan api sudah berkobar di Kampung Makassar. Dari pihak Thai, banyak yang mengira sebagian besar orang Makassar sudah hancur. Tanpa menunggu perintah, jam setengah enam pagi, Kapten Coats, orang Inggris, mendarat di ujung selatan kampung Makassar, bersama beberapa perwira Inggris dan seorang perwira Perancis.
Ternyata hasil tembakan tidak seberat yang diduga, karena sebelumnya orang Makassar telah menggali lubang perlindungan. Begitu Kapten Coats dan kawannya mendarat, mereka diserang orang Makassar. Seorang Inggris bernama Alvey tewas seketika, yang lain berlari kembali ke perahu. Kapten Coats melompat ke dalam sungai dan tenggelam.
Melihat kenyataan ini, terpaksa tembakan diteruskan lagi selama tiga jam, dan kebakaran dapat terlihat dari kota. Sebagian besar orang Makassar berkumpul di pinggir sungai Melayu untuk melancarkan serangan balasan ke arah kampung Portugis.
Melihat ini, Phaulkon ke sana, diikuti dua perahu yang baru tiba, memuat 20 orang kompeni Perancis di bawah pimpinan M.Veret dan 15 perahu Thailand. Setelah dekat, mereka mendarat dan menghampiri musuh sambil menembak. Karena orang Makassar tidak punya senjata api, mundur dan berpencar menjadi dua kelompok ke dalam rumpun bambu untuk menyiapkan perlawanan. Satu kelompok terdiri dari 60 orang, mengamuk langsung dari depan, dan kelompok kedua yang berjumlah 40 orang menyerbu dari samping.
Pasukan Thai terkurung dan terpaksa menyelamatkan diri masuk ke dalam sungai untuk naik kembali ke perahu, tetapi perahu mereka sudah dihanyutkan orang Makassar dan sudah agak jauh dari pinggir sungai. Beberapa orang Makassar yang menyamar sebagai orang Thai di atas perahu, menyerbu mereka dan membunuh lima orang yaitu, kapten Inggeris Udall, dua pegawai kompeni Perancis, M. de Rouan dan M. Carel, serta dua orang pegawai kompeni Perancis lainnya, M. Millon, dan seorang lagi yang diperbantukan pada tentara Thai.
Phaulkon sendiri nyaris terbunuh, sedangkan M. Veret, terpaksa berlindung di belakang sebuah perahu sebelum diselamatkan dengan susah payah oleh anak buahnya. Serangan baru dilancarkan dari pihak Thailand lagi, sehingga orang Makassar terpaksa mundur, tetapi belum dikalahkan.
Jam 10, tiba bantuan baru. Sebagian berjumlah 400 orang dibawah pimpinan Opra Lumbarat, dikirim ke Utara untuk mencegah orang Makassar menyeberangi Sungai Melayu, sedangkan Phaulkon memimpin 3.000 orang maju dari Timur, di lokasi banjir setinggi lutut. Dengan demikian orang Makassar dikepung dan terpaksa berlindung lagi di dalam hutan bambu dan di belakang rumah yang masih berdiri, dikejar dan ditembaki terus menerus oleh 800 prajurit infanteri. 2.200 orang lainnya dikerahkan ke belakang.
Orang Makassar terpaksa berkubu di dalam rumah yang dibakar satu persatu oleh laskar Thai. Sesudah rumah hampir hangus, mereka yang di dalam, keluar sambil mengamuk dan berkelahi sampai mati. Daeng Mangalle sendiri menyerang langsung ke arah Phaulkon dan mencoba untuk menombaknya, tetapi dibunuh oleh pengawal Phaulkon. Ada yang mengatakan dibunuh oleh M. Veret, kepala kantor kompeni Perancis. Yang jelas, Daeng Mangalle gugur dengan 7 luka, lima luka kena tombak dan dua kena senapan di bahu dan di kepala. Anaknya yang sulung, Daeng Ruru, yang baru berusia 14 tahun, mencoba pula membunuh Phaulkon, tetapi gagal dan tertangkap tertangkap.
Pertempuran masih berlangsung sampai jam 3 sore. Orang Makassar yang masih hidup, ditangkap. Mayat orang-orang Makassar yang sempat dihitung berjumlah 42 orang, yang hanyut di sungai tidak dapat dihitung. Perempuan dan anak kecil yang korban, entah terbakar dalam rumah mereka, entah karena dibunuh oleh kepala keluarga sendiri, supaya tidak jatuh ke tangan musuh, tidak tercatat. Yang ditangkap 55 orang, termasuk 22 orang yang berkubu dalam Mesjid, semuanya luka-luka. Tahanan dibunuh dan sebagian disiksa antara lain, 4 orang yang desertir dari tentara kerajaan, dijadikan makanan harimau. Sedangkan beberapa pemuka agama ditanam hidup-hidup dan dibunuh oleh orang yang lewat di situ. Perempuan dan anak kecil yang kedapatan masih hidup dijadikan budak. Daeng Ruru dan adiknya, Daeng Tulolo, anak Daeng Mangalle diminta oleh Perancis dan dikirim ke Perancis. Di sana mereka mendapat perlakuan yang sangat baik. Dalam sejarah, Daeng Ruru dikenal dengan nama Louise De Ruru, perwira Angkatan Laut Perancis yang kegagahan dan keberaniannya diperlihatkan dalam perang laut antara Perancis dan Inggris. Adiknya, Daeng Tulolo dalam karirnya di Angkatan Darat, mencapai pangkat Letnan.
**
Ilustrasi foto: M.A.P Oemasugi.
Judul asli
PETUALANGAN ORANG MAKASSAR
DI AYUTHIA(MUANG THAI)
PADA ABAD KE XVII
Suatu kisah nyata,
hasil penelitian dan tulisan Dr. Christian Pelras dari Perancis,
This post was last modified on 10/01/2021 23:19