Chaerul Umam Seorang Guru Yang Tak Pernah Menggurui

Chaerul Umam adalah seorang dai yang berdakwah lewat film. Selain menyampaikan pesan dakwah kepada penonton, beliau juga berdakwah kepada aktor dan kru. Beliau punya kepedulian yang tinggi untuk mencetak insan film yang profesional sekaligus juga berakhlak dan berwawasan Islami.

Selama perjalanan beliau di dunia perfilman dan sinetron tanah air, telah muncul kader-kader beliau yang tetap meneruskan cita-cita dan perjuangan beliau. Nah, berikut penuturan dari murid-murid beliau:

Dani Sapawie (Produser)

Chaerul umam itu sosok sutradara yang mempunyai jiwa mendidik tapi di acara mendidiknya beda. Tidak seperti guru menjelaskan di kelas atau padepokan. Chaerul umam mengajarkan kita dengan bekerja. Jadi kita diajak bekerja untuk belajar bekerja. Beliau sosok pendidik yang luar biasa. Beliau adalah sosok tokoh perfilman yang belum tergantikan. Ilmunya hebat, pemahaman agamanya luar biasa. Sebagai senior beliau sangat menghargai juniornya. Dia memperlakukan kita setara tanpa meski kita orang baru di film.

Jujur saja saya kenal film dengan baik dan benar itu lewat Chaerul Umam. Saya belajar film di IKJ, saya mendapatkan ilmu cara membuat film di kampus, tapi cara membuat film yang baik, saya dapatkan dari Chaerul Umam. Beliau mengajarkan ilmu film langsung dengan praktek. Saya bekerja sama dengan beliau puluhan tahun. Saya mengangap bahwa Chaerul Umam adalah peletak dasar film islami di Indonesia.

Chaerul Umam sangat jelas islaminya baik dari konten dan pembuatan. Saat proses pembuatan film pun harus Islami. Umpanya, beliau tidak mau ada kru yang statusnya nggak jelas: laki-laki atau perempuan? Tidak ada kru dan pemain yang main judi, dan perbuatan maksiat lainnya. Karena itu akan berdampak buruk saat syuting dan pada hasil syuting. Beliau juga memperhatikan waktu-waktu sholat. Melakukan sholat berjamaah bersama kru dan pemain. Beliau kadang juga menghadirkan ustadz-ustadz di lokasi untuk memberikan pencerahan agama.

Dalam berkarya, beliau menegaskan kepada produser bahwa dia tidak akan membuat adegan bersentuhan laki perempuan yang bukan muhrim. Ini sikap yang sangat jelas dari beliau. Dan ini belum tentu mendapatkan perhatian dari sutradara-sutradara lainnya.

Dari sisi cerita film, beliau selalu menginginkan solusi-solusi Islami dari setiap konfik dalam film. Bukan solusi yang liberal atau dengan logika serampangan. Itulah makanya saya berpendapat bahwa beliau adalah peletak dasar pembuatan film Islami di Indonesia.

Nah, bila dasar-dasar ini ingin dilanjutkan maka sutradara-sutradara baru harus mempunyai kapabilitas dan kapasitas untuk membuat karya. Ukurannya adalah rating dan jumlah penonton. Chaerul Umam telah membuktikan bahwa dia bisa membuat karya yang baik dan “meledak’. Baik di film layar lebar seperti Al-Kautsar, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Fatahillah, sampai yang terakhir. Di sinetron pun beliau selalu membuat sinetron yang mendapatkan rating tinggi.

Hal ini menjadi pertimbangan bagi produser untuk memilih Chaerul Umam sebagai penggarap film maupun sinetron. Produser akan mengerti dan percaya pada kualitas dan konsistensi sikap dari Chaerul Umam. Produser yakin bahwa ditangan Chaerul Umam, film akan bagus, Islami, dan mendapatkan penonton yang banyak.

Chaerul Umam itu orangnya profesional. Dia sebagai sutradara sangat mematuhi penulis. Apa yang telah ditulis oleh penulis skenario dia anggap telah dipikirkan dengan matang. Jadi dia tidak akan mengubah apalagi mengacak-acak skenario tersebut. Beliau juga kompromistis. Umpamanya ada keinginnya begini dan begitu tetapi produser menganggap akan over budjet, beliau pun mengalah dengan menghadirkan opsi-opsi terbaik. Meski kompromistis tapi beliau tidak suka menjilat.

Selain itu, Chaerul Umam pun sangat marketable, makanya filmnya banyak diminati penonton. Seorang sutradara Islami juga harus memikirkan aspek marketing tidak hanya idealisme. Jadi filmnya bagus, artistik, Islami, menghibur, dan laku.

Chaerul Umam adalah peletak dasar film islami di Indonesia.

Zak Sorga (Sutradara)

Saya selalu melihat Chaerul Umam adalah orang yang kuat. Dan saya selalu bilang ke teman-teman: “Jadilah orang kuat.” Beliau kuat dalam menelorkan ide-denya, gagasan-gagasannya, dan cita-citanya.

Saya kagum sama ketenangannya, konsistensinya, komitmen sama prinsip, sama laku sehari-hari. Konsisten mengumpulkan orang-orang.

Saya belajar dari beliau tentang kesederhanaan. Hal-hal yang rumit dibuat sederhana. Apapun. Dalam segala hal. Dalam pembuatan film contohnya. Saya pernah mengusulkan untuk buat begini, begitu. Ini kan adegan pasar jadi suara-suaranya harus begini. Tapi beliau menampik dan bilang “ah itu kan filmnya Teguh Karya.”

Dia mengandalkan karakter tokoh, pengadeganan pemain. Pemain yang menjadi kekuatan utama

Cita-cita beliau itu juga menjadi cita-cita saya. Beliau lebih kekeuh, prinsipnya tegas, tanpa tawar menawar. Itu yang membuat orang lebih menghargai beliau. Beliau nggak tergiur dengan berbagai tawaran membuat film yang tidak sesuai idealismenya.

Semua film, kegiatan, aktivitas bersama Chaerul Umam sangat berkesan buat saya. Proses yang kami jalani sangat panjang. Semua berkesan tanpa kecuali.

Sapto Wibowo (Sutradara)

Energi Chaerul Umam itu luar biasa. Itulah yang paling saya kagumi. Saya yang lebih muda jadi malu kalau ingat itu.

Yang utama dari beliau itu keistiqomahannya. Beliau telah memilih jalan. Dia yakini, dan konsisten dengan itu. Tidak peduli dengan bujuk rayu lainnya. Soal rejeki itu sudah ditentukan oleh Allah. Inilah jalan gua, gitu.

Makanya karya-karya lebih tegas, lebih punya prinsip. Kalau saya pribadi kayaknya belum bisa ngikutin gitu. Hehehe.

Pertama kali serius ikut beliau itu di FTV “Ayahku”. Padahal saya masih baru. Banyak hal yang saya pelajari dari beliau. Belajar dari apa yang kita lihat. Ada yang saya belum bisa saya pelajari itu adalah membuat adegan seperti beliau. contohnya, saya waktu menyutradarai adegan sedih. Pemain udah mewek tapi penonton tidak bisa nangis. Beda dengan beliau, pemain tak perlu nangis tapi penonton yang nangis. Itulah kelebihan beliau.

Yang saya kagum juga sama beliau yaitu beliau kan sutradara, tapi nggak suka dilayani seperti bos. Apa yang beliau bisa kerjakan, dia kerjakan sendiri. Contohnya soal makan. Di lokasi beliau ambil makan sendiri tanpa dilayani oleh kru. Itulah teladan dari beliau.

Kalau kita lihat tongkrongannya, beliau itu tampak galak. Tapi sebenarnya nggak juga. Kami sering becanda. Beliau walau dicengin tapi nggak marah. Lucu-lucu aja. Kadang-kadang saya becanda kelewatan tapi beliau nggak marah. Buat asyik suasana di lapangan.

Sebelum wafat beliau berpesan: teruskan. Mungkin maksud beliau kita meneruskan cita-cita beliau berdakwah lewat film Islami.

Iwan Gardiawan (Aktor)

Pertama kali bekerja sama dengan almarhum Chaerul Umam yaitu di film dokumenter “Belajar Menonton Film”. Waktu itu saya jadi unit diajak oleh Dani Sapawie yang jadi pimpro. Saya sangat kagum dengan sosok beliau, meski telah punya nama besar tetapi beliau itu merasa belum apa-apa. suatu waktu kami ajak beliau untuk mengisi workshop film, beliau bilang “jangan dong, jangan film. Aku belum jago.”

Padahal banyak orang yang ingin belajar sama Mas Mamang (panggilan akrab Chaerul Umam). Belajar film, belajar komedi, tentang film religi. Dia merasa belum apa-apa padahal kita tahu beliau itu pakar.

Beliau mengajar kita tidak menggurui tapi dengan langsung melihat. Loe liat aja. Gini loh caranya. Dan beliau selalu ingin bekerja dengan anak-anak muda. Jika ada generasi baru yang mau belajar. Beliau sangat welcome.

Waktu saya menjadi pemain, saya nggak jadi kru lagi, beliau nggak mau ada adegan yang menyakiti perempuan. Saat itu adegannya itu menyiram air kobokan ke muka pemain perempuan. Beliau pun mengakali dengan memberi campuran bedak. Beliau sangat pintar mencari solusi kreatif. Itulah yang saya pelajar dari beliau.

Dari sisi sebagai pemain, dia tidak terlalu matematis saat mengarahkan pemain. Umpanya pemain dua langkah maju, atau badan berputar setengah. “Loe feeling aja,” kata beliau.

Beliau mengakui kalau dia nggak jago teknik sinema. Misal gambar, gerak kamera, pencahayaan, tapi beliau fokus di pengadeganan pemain. Di situ dia jagonya. Beliau kuat di adegan.

MH. Suprayogi (Kameramen)

Saya alhamdulillah telah diberi kesempatan bekerja sama dengan Mas Mamang. Saya telah bekerja sama dengan sutradara-sutradara besar lainnya seperti Teguh Karya, Arifin C. Noer, Enison Sinaro, Garin Nugroho, yang punya cara berbeda menyutradarai. Tetapi Mas Mamang punya gaya yang berbeda dengan sutradara-sutradara tersebut.

Yang saya amati itu, beliau kuat dalam pengadeganan. Dia bisa menciptakan pemain baru yang dari nol pengetahuannya, tapi bisa bermain bagus, natural, dan hampir setara dengan pemain-pemain lama.

Yang saya ingat itu waktu Azzam menolong Anna untuk mendapatkan kitab-kitabnya yang ketinggalan di bus. Setelah Azzam hendak mendapatkan kitab itu lagi, dia hendak pergi naik taksi. Nah, saya lihat Mas Mamang ini sangat paham dengan frame kamera. Azzam yang sedang menuju taksi dipanggil oleh Anna Althafunnisa lalu berbalik badan. Ini menurut saya dahsyat sekali.

Saya melihat langsung bagaimana Mas Mamang mengarahkan Cholidi (Azzam) yang notabene masih sangat baru di dunia film, menjadi adegan yang luar biasa. Dan banyak lagi adegan-adegan lainnya. hal-hal kecil, detil-detil, sangat diperhatikan oleh beliau.

Bagaimana beliau mencontohkan intonasi dialog kepada pemain sangat berpengaruh pada adegan. Bikin adegan menjadi hidup.

Kalau soal film Islami, beliau nggak ada duanya. Baik di hasil, konsep, dan eksekusi beliau sangat istiqomah. Ini muncul dari dirinya sendiri yang kemudian diterapkan ke karya. Contohnya pemeran perempuan yang menggunakan hijab, bahkan di dalam rumah pun tetap menggunakan hijab. Padahal realitanya perempuan pasti melepas hijabnya kalau sudah dalam rumah. Tapi sama Mas Mamang, penonton udah nggak mempersoalkan itu. ini karena keberhasilan beliau meracik adegan-adegan itu.

El Badrun (Penata Artistik)

Pertama kali bekerja sama dengan Mas Mamang itu di film Fatahillah. Waktu itu saya mencari lokasi syuting di beberapa tempat di wilayah Jawa Barat, Banten, hingga Jawa Tengah. Ternyata yang paling cocok itu di daerah Cirebon karena di sana ada hutan, ada pantai, ada pelabuhan. Cocok dengan kebutuhan syuting.

Nah, yang saya sangat terkesan adalah pas jumatan, Mas Mamang minta kita bikin jumatan di lokasi. Wah saya paling sibuk menyiapkan ini itu mulai karpet, terpal, dan sebagainya. Dan saya sangat setuju banget. Saya juga setuju dengan rekrutmen kru yang muda-muda dari IKJ.

Selama pengalaman saya ikut syuting di produksi lain. Urusan sholat, jumatan itu urusan masing-masing. Ketika Mas Mamang itu harus ada kebersamaan. Pokoknya harus ada jumatan. Bahkan pak Sindu pimpro yang non muslim pun ikut menyiapkan acara sholat jumat itu.

Kebetulan Mas Mamang itu selalu mengundang ustadz-ustadz dari Jakarta seperti Ustadz Ridwan, Ustadz Abu Ridho, kebetulan pemain yang jadi Fatahillah yaitu Igo Ilham pun seorang ustadz.

Suatu saat ustadz nggak ada pada saat jumatan. Saya ambil inisiatif nyari koran yang ada tulisan untuk materi khutbah. Alhamdulillah dapat, lalu dibaca oleh siapa saya lupa tapi jumatannya berjalan lancar. Hehe. Mas Mamang sendiri nggak mau jadi khotib. Serahkan ke ahlinya katanya.

Setelah film Ketika Cinta Bertasbih, saya selalu ikut Mas Mamang. Baik di film maupun di sinetron. Yang saya sangat terkesan itu adalah dia selalu mikirin saya di art. “Kamu itu butuh mobil.” Saya pun dibelikan mobil.

Kita butuh studio, beliau juga mengusahakan lewat relasinya. Maka muncullah studio di Bambu Apus. Beliau sangat peduli dan mikirin bawahannya.

Beliau itu komit dengan film religi. Saya nggak tahu sejak kapan, tapi sejak ikut beliau saya lihat dia komit. Kalau butuh pemain yang bisa ngaji, ya harus nyari pemain yang jago ngaji. Tidak asal-asalan. Contohnya saat audisi film Ketika Cinta Bertasbih. Kalau kita mau bikin film religi itu barometernya ya Chaerul Umam.

Ada kesan yang belum bisa saya tiru dari beliau yaitu makan kambing. Semua menunya kambing. Dan saya harap murid-muridnya pun melanjutkan tradisi makan kambing itu. hahaha.

(bersambung…)

Mungkin Anda Menyukai