Biografi Taufiq Ismail, Penulis Puisi, Sastrawan, dan Kehidupan

Taufiq Ismail lahir pada 25 Juni 1935 di Bukittinggi adalah anak sulung dari pasangan A. Gaffar Ismail (1912-1997) seorang ulama Muhammadiyah terkemuka dan Sitti Nur Muhammad Nur (1917-1982). Karena aktivitas dakwah Sang Ayah, pemerintah Hindia Belanda membuangnya ke Pekalongan.

Itulah sebabnya Taufiq kecil mengikuti ayahnya pindah ke ke beberapa kota di pulau Jawa. Sebelum masuk Sekolah Rakyat, ia pindah ke Solo. Lalu pindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan Sekolah Rakyat di Yogyakarta.

Lanjut SMP di Bukittinggi, sedangkan SMA-nya di Bogor. Kemudian, Taufiq kembali ke Pekalongan.

Pada 1956–1957 Taufiq memenangkan beasiswa American Field Service International School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat. Taufiq adalah angkatan pertama dari Indonesia.

Setelah Taufiq tamat SMA, dengan pilihan sendiri ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB). Karena ia ingin memiliki bisnis peternakan untuk menafkahi cita-cita kesusastraannya.

Meskipun pada 1963 berhasil menamatkan kuliahnya, Taufiq gagal untuk memiliki sebuah usaha ternak yang pernah ia rencanakan.

Pada 1971-1972 dan 1991-1992 Taufiq mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Language and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai.

Aktivis Mahasiswa dan Organisasi

Ketika masih belajar di tingkat pendidikan menengah, Taufiq aktif di organisasi, antara lain menjadi Sekretaris Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Pekalongan (1954-56) dan bersama S.N. Ratmana menjadi pengurus perpustakaan PII. Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan dalam berbagai kegiatan.

Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962). Setelah menamatkan studi, Taufiq tetap aktif di organisasi kemasyarakatan atau sosial.

Taufiq adalah Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kemudian sempat menjadi ketuanya.

Taufiq pernah bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service (AFS), AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. AFS mengelola penyelenggaraan pertukaran pelajar antarbangsa yang sejak 1957 hingga 1998 dan telah mengirimkan 1.700 siswa Indonesia ke lima belas negara dan menerima 1.600 siswa Asia di Indonesia. Untuk urusan itu, Taufiq pernah menjadi anggota Board of Trustee AFSIS di New York.

Pada tahun 1974–1976 Taufiq terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York. Selain itu, Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, konsultan Balai Pustaka, Sekretaris Pelaksana Dewan Kesenian Jakarta (pada masa kepemimpinan Trisno Sumardjo hingga Umar Kayam pada akhir 1960 dan awal 1970-an), dan salah seorang pendiri Taman Ismail Marzuki (TIM) maupun Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ).

Taufiq juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dan untuk kampanye antinarkoba, ia menulis puisi yang kemudian menjadi lirik lagu. Lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” adalah lagu karya Ian Antono.

Di salah satu organisasi sosial besar di Indonesia, yakni Muhammadiyah, Taufiq menjadi pimpinan Majelis Kebudayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.     

Dalam hal pekerjaan, Taufiq pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964).

Karena keterlibatannya dalam organisasi antikomunis lalu menandatangani Manifes Kebudayaan yang terlarang oleh Presiden Soekarno, pada 1964, kariernya sebagai dosen dan peneliti di almamaternya terputus. Dan ia juga batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida.

Perjalanan Kesusastraan

Kemudian Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI (1966-1970) lalu bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia yang melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.

Taufiq pernah menjadi Pj. Direktur TIM dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).

Karier Taufiq sebagai penyair berawal ketika ia menulis puisi-puisi demonstrasi yang terkumpul dalam Tirani dan Benteng tahun 1966. Karier itu terus meningkat sehingga Taufiq menjadi penyair dan sastrawan besar Tanah Air. Taufiq telah menelurkan banyak karya-karya hebat, terutama puisi-puisi yang lahir dari pikirannya yang tajam.

Setiap bait puisi-puisinya mempunyai makna yang dalam dan banyak karyanya yang memberikan motivasi bagi generasi muda untuk selalu memperjuangkan kehidupan berbangsa untuk memajukan bangsa ini menjadi lebih baik.

Puisinya berjudul “Sajadah Panjang”, melalui alunan suara Bimbo sudah akrab bagi rakyat Indonesia. Demikian pula beberapa puisi hebat karya Taufiq seperti “Benteng” (1966), Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” (1966), “Mencari Sebuah Mesjid” (Jeddah, 1988), “Kembalikan Indonesia Padaku” (Paris, 1971), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” (1998).

Selain itu, Taufiq tidak hanya menulis puisi saja tetapi juga karya-karya lainnya. Berikut ini karya Taufiq yang bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah itu.

  1. Tirani, penerbit Birpen KAMI Pusat (1966)
  2. Benteng, Penerbit Litera ( 1966)
  3. Buku Tamu Musium Perjuangan, penerbit Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
  4. Sajak Ladang Jagung, Penerbit Pustaka Jaya (1974)
  5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Penerbit Aries Lima (1976)
  6. Puisi-puisi Langit, Penerbit Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
  7. Tirani dan Benteng, Penerbit Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
  8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Penerbit Mizan (1995)
  9. Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-50), Penerbit Yayasan Ananda (1995)
  10. Seulawah: Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), penerbit Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
  11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Penerbit Yayasan Ananda (1998)
  12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001), penerbit Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
  13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, penerbit Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)

Puisi Taufiq Ismail

Taufiq juga telah menerjemahkan sejumlah buku,: Bonjour Tristesse (terjemahan novel karya Françoise Sagan, 1960), Cerita Tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962), dan Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964).

Selain itu, Taufiq telah menerjemahkan puisi-puisi penyair Amerika dalam rentang waktu 150 tahun setebal 850 halaman di bawah judul “Rerumputan Dedaunan”. Antologi karya terjemahan ini tidak dapat diterbitkan karena persoalan hak cipta yang tidak dapat diselesaikan.

Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil. Dia terkenal sebagai penyair partisan dalam aksi demonstrasi mahasiswa tahun 1966. Berikutnya Taufiq tampil dalam berbagai peristiwa sejarah dengan membacakan puisi-puisinya, seperti pada peristiwa menjelang jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, peristiwa Pengeboman Bali, dan bahkan pada usianya satu hari menjelang 85 tahun pada peristiwa demo di depan Gedung DPR/MPR RI.

Melalui puisi-puisinya, Taufiq banyak menyampaikan kritik sosial dengan halus berupa bahasa karya sastra. Puisi-puisi Taufiq lebih dekat kepada persoalan politik dalam negeri, kondisi sosial ekonomi, dan hal-hal kontemporer lainnya.

Secara umum Taufiq menulis puisi bernafaskan politik dan agama. Selain itu, puisi-puisinya tidak jarang juga berbentuk sebuah nasihat. Kritikan maupun nasihat, oleh Taufiq dengan lugas dan transparan, maka pembaca tidak pusing dengan sajian diksi yang sublim dan majasnya sederhana. Sangat mudah untuk dimengerti dan dinikmati, dan bagaikan cerpen yang ringkas saja.  

Pendapat Tokoh Tentang Taufiq Ismail

Tentang kebiasaan Taufiq tersebut,  Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo mengatakan bahwa Taufiq itu “ … tidak hanya sastrawan, beliau ini juga pejuang. Beliau ini adalah tokoh yang selalu menggunakan kata-kata puisi menjadi ekspresi sejarah”.

Imam juga mengatakan bahwa menjadi bagian dari sejarah perjuangan merupakan sebuah kehormatan tersendiri. Puisi-puisi karya Taufiq merupakan gambaran-gambaran mengenai perjalanan sejarah dan mencerminkan kekonsistenan sikap Taufiq sebagai penyair. Puisi-puisi Taufiq  merupakan sebuah ekspresi dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang tidak sulit untuk dipahami. Justru, oleh karena tidak sulit untuk dipahami, maka puisi-puisinya itu menjadi  karya yang sangat menyentuh hati.

Para pembaca dan penikmat sastra pun merasa sangat memahami dan bisa mencerna buah karya Taufiq Ismail.

Imam mengatakan “Apa yang ditulis itu adalah sebuah perjalanan sejarah yang signifikan. Dengan membaca puisi, dan tahu kapan itu ditulis, itulah cerminan sejarah pada saat itu. Jadi saya melihat, alur, sejarah perjalanan masyarakat di republik ini, itu secara panjang, itu tercermin dalam puisi-puisi pak Taufiq.”

Taufiq oleh Imam telah berhasil menggabungkan antara apa yang bisa tafsirkan dalam proses sosial dan gejolak pikiran serta hati yang juga dia rasakan.

Oleh sebab itu, karya-karyanya pun tak jarang kerap menafsirkan sebuah perjalanan masyarakat dan ekspresi spiritual. “Jadi itulah yang saya kira jarang orang bisa mengekspresikan melalui kata-kata yang indah tentang bagaimana sejarah ini berkembang dan bagaimana sebuah perjalanan rohani itu terjadi,” tegas Imam. 

Sebagai penyair Taufiq banyak diundang, diberi tugas, diajak, atau diberi kepercayaan untuk bekerja sama oleh berbagai institusi/ lembaga maupun pribadi.

Pada 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia; diundang untuk membacakan puisinya di berbagai tempat (baik di luar negeri maupun di dalam negeri), ditugasi untuk mewakili Indonesia pada baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970 (oleh karena itu banyak puisinya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Cina, Bosnia, Arab, dan lain-lain.

Puisi Yang Jadi Lagu

Taufiq juga diajak oleh para musisi: Syamsuddin Harjakusumah (dan juga saudaranya yang lain yang tergabung dalam grup musik Bimbo), Chrisye, Ian Antono, Ucok Harahap, dan lain-lain. Lewat kerja sama itu puisi-puisi Taufiq semakin terkenal setelah menjadi lagu yang beredar luas di masyarakat.

Taufiq telah menghasilkan puisi yang menjadi lagu sebanyak 75 judul.

Sebagaimana tercatat di sejarah sastra Indonesia, pada 1966 Taufiq bersama-sama rekan seperjuangannya, mereka menerbitkan majalah sastra bulanan Horison. Taufiq menjadi orang terakhir yang masih terlibat di Horison sampai majalah kembang kempis terbitnya.

Hingga tahun 2008, Taufiq masih ikut mengendalikan majalah yang kegiatannya sudah merambah ke sekolah-sekolah dalam bentuk temu siswa dengan sastrawan yang bertajuk SBSB (Siswa Bertanya Sastrawan Bicara) di berbagai kota besar di Indonesia.

Kegiatan tersebut dapat berlangsung berkat adanya kepercayaan orang maupun institusi/lembaga kepada Taufiq. Tentu saja atas kepercayaan bahwa Taufiq adalah sastrawan dan pribadi yang penuh potensi, dedikasi, dan prestasi, banyak penghargaan atau anugerah yang diterimanya.

Penghargaan/anugerah yang diterima itu diantaranya: (1) Anugerah Seni dari Pemeritah RI (1970), (2) Penghargaan dari Pusat Bahasa (1994) yang kemudian membawanya untuk menerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand pada tahun itu juga, (3) Penghargaan dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara di Negeri Johor, Malaysia (1999), (4) Penghargaan karena bertahun-tahun sebagai Penilai Karya Sastra oleh Pusat Bahasa (1994). dan (5) Anugerah Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003).

Banyak tokoh yang telah berbicara tentang Taufiq. Kuntowijoyo dalam pengantar buku Taufiq yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia menyatakan bahwa Taufiq Ismail adalah penyair yang sangat peka dengan sejarah karena riwayat hidup pribadinya memang sarat dengan pengalaman sejarah dan menunjukkan keterlibatan penuh di dalamnya.

Taufiq Layak Mendapat Gelar Doktor

Suminto A. Sayuti dalam pidato pengantar pada penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuk Taufiq Ismail menyatakan bahwa di antara para sastrawan yang prihatin atas situasi dan kondisi pengajaran sastra di Indonesia adalah Taufiq Ismail. Dialah yang menggebrak khalayak pecinta sastra Indonesia melalui penelitiannya yang dirumuskannya dalam pertanyaan “Benarkah Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?”

Suminto lebih lanjut menegaskan “Drh. Taufiq Ismail layak dinugerahi doktor honoris causa di bidang pendidikan sastra karena yang bersangkutan telah menunjukkan jasanya yang begitu besar di bidang kebudayaan, khususnya dalam rangka meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra Indonesia. Di samping yang bersangkutan juga memenuhi syarat oleh peraturan perundang-undangan tentang penganugerahan gelar kehormatan di negeri ini”.

Fadli Zon, keponakan Taufiq, mengatakan bahwa Taufiq Ismail melalui karya-karyanya selalu mampu menginspirasi berbagai kalangan. Sudah banyak puisi karya Taufiq Ismail yang menjadi lagu. Karya beliau terus menginspirasi, bahkan belum ada data lengkap soal karya-karyanya. Lebih dari 70 penyanyi menjadikan puisi Taufiq Ismail menjadi lagu.

Inpirasi Bagi Jayasuprana

Jayaprana, pendiri MURI, mengatakan: Saya terkesan atas kerendahan hati sang mahapenyair Nusantara ini. Sejak mengikuti polemik industri hiburan adu jotos. Yaitu pada masa puncak popularitas tontonan adu tinju Muhammad Ali.

Taufik Ismail secara sendirian melawan arus dengan menggubah sajak “Memuja Kepalan, Menghina Kepala” secara indah mengungkap keyakinan anti kekerasan.

Kerendahan hati bukan sekadar rekayasa pencitraan namun secara kodrati sudah mendarah-daging pada diri Taufik Ismail. Setiap kali berjumpa dan mendengar Taufik Ismail bertutur-kata, saya senantiasa takjub atas aura kerendahan hati sang putra terbaik Indonesia penerima anugerah South East Asian Writer Award dan Bintang Budaya Parama Dharma tersebut.

Setiap kali saya membaca  atau mendengar sajak Taufik Ismail, sukma saya tergetar. Bukan hanya akibat kekaguman namun keterharuan atas keindahan tutur kata dan kalimat yang terkandung di dalam mahakarya sastra sang mahasastrawan Nusantara itu.

Adalah puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” yang menginspirasi saya untuk tidak malu mulai mempelajari apa itu malu, sebagai lanjutan kelirumologi yang kemudian tersurat di dalam buku Malumologi.

Menurut pendapat saya, meski Taufik Ismail bukan orang Jawa namun beliau justru lebih Jawa ketimbang orang Jawa sebagai personifikasi dalam wujud lahir-batin falsafah Jawa yang paling saya upaya hayati yaitu Ojo Dumeh.

Taufiq Ismail adalah seorang putra ulama Muhammadiyah terkemuka, K.H. Abdul Gaffar Ismail. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adiknya bernama Ida Ismail dan Rahmat Ismail. Dari perkawinannya dengan Esiyati Yatim, Taufiq mendapat putra tunggal Abraham Ismail, M.B.A. (Bram Ismail) yang bekerja di PT Unilever, melanjutkan karier ayahnya yang juga pernah bekerja di perusahaan Amerika Serikat itu (1978 – 1990).

Pada ulang tahun ke-84 (25 Juni 2019) keluarga Taufiq menggelar syukuran ulang tahun sekaligus  peluncuran DVD bertajuk “Meniti Kehidupan.” Kepingan itu merangkum narasi perjalanan panjangnya sebagai salah satu penyair kenamaan di Indonesia.

Pada 25 Juni 2020, saat pandemi atau pagebluk Corona, keponakan Taufiq, Fadli Zon, merayakan hari ulang tahun ke-85 Taufiq. Perayaannya secara online via Zoom dari Fadli Zon Library, Jalan Danau Limboto, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Bersama istri yang selalu mendukung dan mengurusi berbagai kegiatannya, Taufiq Ismail tinggal di Jalan Utan Kayu Raya 66 E, Jakarta Timur. 

Mungkin Anda Menyukai