Apa Yang Salah Dari Feminisme?

“Sayap-sayap kemenangan tidaklah hancur dalam perang gender, melainkan bertahan dalam kebimbangannya sendiri yang perkasa.” -naomi wolf-

Perempuan dan feminisme adalah dua hal yang inheren. Feminisme dalam perkembangannya mempunyai banyak pengertian dan klasifikasi. Feminisme liberal, feminisme kultural, feminsme radikal, feminisme kekuasaan, feminisme korban, dan seterusnya adalah beberapa mazhab feminisme yang bermunculan. Meski nampak berbeda, tapi lebih banyak kemiripannya.

Feminisme liberal menekankan persamaan laki-laki dan perempuan, dan sekiranya diberi peluang yang sama maka perempuan akan berperilaku sama seperti laki-laki. Feminisme kultural menekankan bahwa perilaku yang unik pada perempuan telah direndahkan di masyarakat yang seharusnya justru harus dihargai dan diberi tempat yang layak. Feminisme radikal melihat bahwa struktur di mana pun dan dalam jenis masyarakat apa pun laki-laki selalu diuntungkan dan memberlakukan perempuan secara diskriminatif. Feminisme korban adalah paham yang mengemuka saat seorang perempuan mengais kekuasaan lewat jati diri ketidakberdayaan, sedangkan feminisme kekuasaan adalah paham yang menggunakan kekuatannya demi kepentingan mereka sendiri- tujuan politis.

Dari banyaknya mazhab feminis itu, sangat tampak bahwa dalam perempuan sedang melancarkan aksi menentang dan melakukan konfrontasi terhadap laki-laki. Stigma bahwa laki-laki pernah menjajah wanita sangat melekat kuat. Kini saatnya wanita mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan dan mengumandangkan perang gender.

Laki-laki harus dilawan sekeras-kerasnya. Mereka harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan selama ini. Mereka adalah pemerkosa, pembunuh, penindas, penjajah, peleceh, laknat. Laki-laki lah yang membuat kekacauan di bumi, perang antarsesama, perusakan alam, pelecehan seksual, komodifikasi tubuh perempuan, dan sebagainya. Sedangkan perempuan lah yang memperbaiki semua kerusakan itu. Ini tidak adil. Olehnya, kaum lelaki harus diserbu, dimusuhi, tanpa ada kompromi. Bahkan bila perlu dimusnahkan saja. Toh populasi manusia bisa dikembangkan lewat kloning.

Begitu kira-kira pemahaman salah yang muncul dari sebahagian gerakan feminisme. Syahwat perlawanan yang sangat besar ini justru memupuk kebencian terhadap laki-laki. Prasangka buruk terhadap laki-laki sebagai pembunuh, penindas, persekutor,  penguasa zalim dalam rumah tangga, pemaksa kehendak, telah menjadikan perempuan feminis merasa harus ada pembalasan yang setimpal. Bila perlu lebih berat dari perbuatan.

Perempuan harus berada di pucuk kekuasaan. Harus menguasai parlemen. Tiga puluh persen tidaklah cukup. Harus diistimewakan di berbagai tempat dan posisi, di berbagai ranah: politik, sosial, hukum, agama, budaya, dan apa saja. Diskriminasi terhadap peran perempuan harus dihapuskan. Perempuan pun bisa menjadi pemimpin, jenderal, ketua adat, bahkan imam sholat berjamaah.

Bahwa kodrat perempuan adalah dogma yang tidak memiliki dasar logika yang memadai. Kodrat perempuan harus dipersepsikan dengan lebih adil. Bahwa keunikan fisikal perempuan bukan hal yang bisa melemahkan. Perihal haid, hamil, dan menyusui justru harus ditempatkan sebagai keistimewaan yang wajib dilindungi. Diberi ruang seluas-luasnya agar perempuan bisa berperan aktif dalam keseharian tanpa adanya pembatasan-pembatasan.

Kesemua tuntutan-tuntutan pembebasan hak-hak perempuan inilah yang kemudian menjadikan perempuan feminis menjadi sangat radikal dalam gerakannya. Ada banyak sekali kesalahan logika dalam bereaksi terhadap ketidakadilan ini.

Bahwa untuk mencapai kesetaraan, keadilan, kesejajaran, keseimbangan pria wanita tidak harus lewat balas dendam, penindasan sesama manusia, perang gender, atau apapun namanya. Setiap insan mestinya bertahan sebagaimana kodratnya, kapasitasnya, fungsi, perannya, seta hak dan kewajibannya. Sehingga nantinya, perempuan dan laki-laki menjadi TIDAK TAK SETARA BERDASARKAN GENDER.

Feminisme harus dipandang dengan banyak cara, dengan perspekif yang beragam tanpa memaksa dalam satu mazhab feminisme tertentu. Dengan membebaskan feminisme, justru akan memperluas dan memperkaya, sekaligus menemukan gaya yang elegan terhadap gerakan ini.  Ini juga akan menarik jutaan feminis baru, dengan atau pun tanpa label feminis yang cocok bagi tiap perempuan, juga nyaman bagi para lelaki yang peduli atau tidak terhadap perempuan. Bahkan laki-laki pun bisa menjadi feminis. Laki-laki yang ikut berjuang merebut hak-hak perempuan yang belum terakomodir di masyarakat dan negara. Gerakan feminisme harus memiliki pemahaman dan bentuk baru sehingga cita-cita kesetaraan itu

Dengan KESEIMBANGAN maka akan tercapai keadilan gender yang lebih baik.

Klender, Oktober 1999

Mungkin Anda Menyukai